TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai memberlakukan aturan yang mewajibkan pengusaha perikanan memiliki sertifikat perlindungan hak asasi manusia. Peluncuran regulasi baru itu bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia, Kamis, 10 Desember 2015. Pemerintah mengancam akan membekukan bahkan mencabut izin pengusaha ikan serta kapal ikan yang tidak bersertifikat ini.
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, pemberlakuan aturan itu bertujuan menghindari kasus perbudakan anak buah kapal (ABK) seperti yang terjadi di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, awal tahun ini. Berdasarkan data Kementerian, dan International Organization for Migration (IOM), ada 853 ABK asal Kamboja, Thailand, dan Myanmar yang dipekerjakan secara ilegal dan tidak manusiawi oleh PT Pusaka Benjina Resources. "Selama 22 tahun mereka dieksploitasi di atas laut, ini tidak boleh terjadi lagi," kata Susi di kantornya.
Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 ini, pengusaha diwajibkan melindungi hak ABK, termasuk menerapkan perjanjian kerja di laut dengan standar pengupahan yang layak. Pengusaha juga dituntut memenuhi asuransi kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan sosial. Untuk memperoleh sertifikat HAM, setiap perusahaan perikanan wajib menyusun manajemen perlindungan ABK, seperti perekrutan, gaji dan tunjangan, serta keselamatan kerja.
Sertifikat yang berlaku selama tiga tahun ini akan diterbitkan Tim Sertifikasi Penghormatan Hak Asasi Manusia yang terdiri atas pejabat Kementerian Kelautan dan lembaga lain.
Ketua Satuan Tugas Anti-Illegal Fishing Mas Achmad Sentosa mengatakan pada tahap awal akan diberikan edukasi kepada ABK dan pengusaha mengenai aturan ini. Satgas juga menggodok aturan teknis standar sertifikasi HAM dan tim sertifikasi. "Dalam satu bulan diharapkan sudah selesai," ujarnya.
DEVY ERNIS