TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium gabungan BUMN dan investor Cina belum menyetorkan modal ke Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan sebagai bukti bahwa modal tersebut untuk membangun kereta dari Jakarta ke Bandung.
Hermanto, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 7 Desember 2015, mengatakan modal tersebut harus dalam bentuk tunai, bukan bentuk tanah dan lainnya. Modal lahan dari PT Perkebunan Nusantara VIII, dia melanjutkan, hanya sebuah aset untuk pembangunan jalur. "Mereka belum memenuhi nilai yang harus dilaporkan kepada kita, dan itu masih proses," katanya.
Hermanto mengatakan tujuan modal tersebut agar proyek itu sebagai jaminan tidak terhambat. "Pemerintah Tiongkok juga sedang mendorong," ujarnya. Namun dia belum menyebutkan besaran yang harus disetorkan ke Kementerian Perhubungan tersebut.
Hermanto memaparkan saat ini konsorsium badan usaha proyek kereta cepat sedang dibuat. Untuk izin trase, harus memenuhi tata ruang dua provinsi, yakni Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. "Mereka (badan usaha) meminta izin dari penggunaan lahan masing-masing, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta dan Jawa Barat," tutur Hermanto.
Setelah trase ada, Hermanto memaparkan, badan usaha juga harus menyerahkan amdal (analisis dampak lingkungan) dan desain kereta cepat kepada Kementerian Perhubungan terlebih dulu. "Sampai sekarang, desain dan amdal belum kami terima, baru studi yang umum," ucap Hermanto.
Selain itu, Hermanto mengatakan, proyek kereta cepat rute Jakarta-Bandung baru bisa balik modal (break event point) 25 tahun mendatang dari dibangun sekarang. Menurut dia, hal itu harus dilihat dari pendapatan dan permintaan penumpang kereta yang diprakarsai oleh empat perusahaan BUMN dan investor asal Cina tersebut. "Hitungan bukunya 25 tahun baru break event point," katanya.
Hermanto memaparkan, selama 25 tahun, konsorsium BUMN dan Cina harus menanggung kerugian. Hal itu ditambah jika penumpang yang menggunakan kereta cepat tidak sesuai dengan target. "Dua puluh lima tahun, ya, rugi terus," ujarnya.
Hermanto menambahkan, hal yang sangat membebani proyek kereta cepat adalah anggaran yang begitu besar. Dari teknologi hingga infrastruktur membutuhkan biaya banyak. "Karena modalnya besar sekali untuk biaya operasi dan sebagainya," tuturnya.
ANTARA