TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Grup Riset Ekonomi Bank Indonesia (BI) Yoga Affandi menilai Bank Sentral masih dilema sehingga enggan menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) yang saat ini masih di level 7,5 persen. “Kalau kami lihat dari inflasi yang sudah sangat menurun pada 2015, dengan hitungan 7,5 persen seharusnya suku bunga riil sudah sangat besar,” kata Yoga di Jakarta pada Senin, 7 Desember 2015.
Menurut Yoga, bukan hanya melihat dari inflasi, kenaikan suku bunga bank sentral Amerika (Fed Fund Rate) juga menjadi dasar BI belum menurunkan suku bunganya. Belum lagi, BI saat ini menghadapi dilema. Di satu sisi ada perlambatan ekonomi, di sisi lain masih banyak risiko eksternal yang masih besar. “Kami sadar skenario Fed Fund Rate sudah diputuskan. Kami berpikir ada teritori yang tidak terpetakan dan ada divergensi kebijakan bak sentral lain, seperti European Central Bank,” ucapnya.
Menurut Yoga, BI saat ini berfokus menjaga stabilitas perekonomian. Sumbangan stabilitas terhadap pertumbuhan ekonomi itu jauh lebih besar. Suku bunga BI bersifat prosiklikal, yang berarti sangat dipengaruhi bukan hanya dari pendanaan melainkan dari permintaan. “Dengan permintaan yang baik, dengan sendirinya kredit pun akan tumbuh.”
Yoga membenarkan penurunan BI Rate mempengaruhi pertumbuhan saham. Namun kenaikan saham mungkin hanya bersifat sementara. Dalam kajian yang pernah ia lakukan, BI Rate lebih banyak mempengaruhi surat utang negara (SUN) dibandingkan saham sehingga besaran suku bunga BI 7,5 persen masih aman. “Kami ingin melihat perbaikan tidak hanya satu atau dua hari, tapi jangka panjang. Kalau arahnya memang sudah mau turun, ya harus turun,” katanya.
Kondisi lain yang menjadi pertimbangan BI tidak menurunkan BI Rate adalah kemungkinan yang tidak bisa diprediksi. Sangat tidak baik jika tiba-tiba ada guncangan politik deflasi mata uang yuan, kemudian BI mengubah kebijakan suku bunga.
Ia menilai tugas BI yang paling penting adalah mengarahkan kebijakan ekonomi ke arah yang jelas. Pelonggaran moneter memang dibutuhkan, tapi harus dilakukan hati-hati. “Kalau dilihat dari arahnya, suku bunga Fed akan naik. Dengan suku bunga riil yang cukup besar, seharusnya tidak perlu khawatir dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.”
Yoga berujar, dibandingkan dengan negara lain, siklus ekonomi Indonesia siklus cenderung stabil. Namun ada permasalahan mendasar, yaitu defisit transaksi berjalan.
Ia mengatakan agar semua pihak tidak terjebak pada kebijakan-kebijakan jangka pendek. “Sistem perekonomian itu kompleks, ada masalah institusi, hukum, indeks korupsi, dan birokrasi. Itu jauh lebih penting dibandingkan respons terhadap hal yang sifatnya jangka pendek,” katanya.
DANANG FIRMANTO