TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan Indonesia akan menjadi net eksportir alumina jika pemerintah konsisten mengimplementasikan penghiliran dan mendorong realisasi pembangunan smelter bauksit di Tanah Air.
“Keadaan ini akan jauh berbeda dengan kondisi sebelum larangan ekspor mineral mentah diterapkan pada 12 Januari 2014, yang menunjukkan Indonesia salah satu eksportir terbesar bijih bauksit dengan 45 juta ton dan mengimpor alumina dari luar negeri,” tuturnya Selasa, 1 Desember 2015.
Baca juga:
Kendati saat ini realisasi pembangunan smelter bauksit mengalami perlambatan, ujarnya, Indonesia berpotensi mengolah dan memurnikan bauksit menjadi alumina dengan kapasitas sekitar 9 juta ton per tahun.
Kapasitas produksi tersebut secara langsung dapat menyerap sekitar 9.000 tenaga kerja baru. Efek ganda yang ditimbulkan akan menumbuhkan sentra industri baru, baik di level nasional maupun pemerintah daerah.
Selama ini, ujarnya, 70 persen bijih bauksit Indonesia diekspor ke Cina, sementara Indonesia kembali mengimpor alumina dari Australia. Pola yang tidak sehat ini secara langsung merugikan negara dan masyarakat.
Pasar bauksit dan investor global saat ini telah memahami perubahan investasi bauksit di Indonesia. Investor bahkan mengapresiasi sikap pemerintah yang konsisten melarang ekspor mineral mentah, mendorong realisasi pembangunan smelter, dan memberi sanksi kepada perusahaan yang tidak merealisasikan pembangunan smelter.
Karena itu, pemerintah seharusnya membangun komunikasi efektif dengan swasta dan investor yang tertarik membangun smelter bauksit di Indonesia. Insentif yang meringankan beban investasi smelter perlu dinegosiasikan dengan pihak swasta tanpa melunakkan larangan ekspor.
Ke depan, pemerintah harus segera menyusun rencana optimalisasi kapasitas penyerapan alumina di dalam negeri sehingga tercipta keseimbangan antara barang yang diekspor dan yang diserap untuk industri Tanah Air.