TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Petroleum Association (IPA) memprediksi eksplorasi minyak dan gas nasional masih seret tahun depan. Padahal cadangan migas nasional dari tahun ke tahun terus menurun. "Tahun 2016 masih sulit," ujar Direktur IPA Sammy Hamzah di Hotel Dharmawangsa, Rabu, 2 Desember 2016.
Sampai saat ini, angka pengembalian cadangan migas (R3) terpuruk di angka 0,5. Artinya, dari setiap produksi dua barel setara minyak dari wilayah kerja, penemuan cadangan baru tidak sampai satu barel.
Rendahnya eksplorasi diperparah dengan kondisi runtuhnya harga minyak hingga 60 persen sedari akhir 2014 lalu. Kini harga minyak mentah di pasar Brent hanya tidak sampai US$ 50 per barel.
Menanggapi prediksi muram itu, Presiden IPA Craig Stewart angkat bicara. Craig mengemukakan harga yang anjlok membuat KKKS memangkas anggaran investasi eksplorasi. Banyak aktivitas pencarian cadangan yang terhenti, utamanya yang berada di wilayah berbiaya tinggi seperti di Indonesia timur.
Craig mengemukakan insentif yang dikeluarkan pemerintah saat ini belum cukup manis untuk mendongkrak geliat eksplorasi. Diketahui, langkah anyar pemerintah adalah menghapus pajak bumi dan bangunan khusus aktivitas ini.
Craig berujar, perombakan aturan perlu dilakukan pemerintah, khususnya memperbaiki skema fiskal khusus migas. Pasalnya, aturan dan kontrak yang dibuat saat ini berlatar Indonesia sewaktu masih kaya minyak. Penemuan migas saat itu, yakni pada dekade 70-an, juga terbilang mudah dan berbiaya rendah.
Diketahui, sejak 15 tahun lalu, eksplorasi sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas(KKKS) tidak berhasil menemukan cadangan migas. Padahal hingga Mei tahun ini, ada 137 wilayah kerja eksplorasi yang 91 persennya berada di wilayah barat Indonesia.
ROBBY IRFANY