TEMPO.CO, Mojokerto – Indonesia dan Thailand masih tarik ulur mengenai tarif impor gula. Indonesia menginginkan tarif impor gula, khususnya dari Thailand, tetap diberlakukan. Sebaliknya, Thailand ingin bebas tarif atau nol persen sebagaimana kebanyakan perdagangan komoditas barang sesuai perjanjian perdagangan bebas tingkat ASEAN atau ASEAN Free Trade Agreement (AFTA).
Pada 2015 Indonesia masih memberlakukan tarif impor gula dari negara ASEN sebesar 5 persen dan berharap tetap diberlakukan untuk tahun depan. Pemberlakuan tarif impor itu setidaknya melindungi keberlangsungan industri gula dalam negeri termasuk petani tebu. Sebab jika tarif impor gula nol persen maka dipastikan gula dari Thailand akan membanjiri dalam negeri dan mematikan industri gula dalam negeri.
Perwakilan Indonesia dan Thailand sudah beberapa kali melakukan pertemuan untuk membicarakan tarif impor gula tersebut. “Pemerintah Indonesia dan Thailand bersepakat melakukan komunikasi intensif agar tercipta kesepahaman mengapa Indonesia tetap ingin mempertahankan tarif impor gula,” kata Kepala Subdirektorat Regional Multilateral Direktorat Pemasaran Internasional Kementerian Pertanian Okta Muchtar melalui rilis PT Perkebunan Nusantara X saat mendampingi utusan Thailand di Pabrik Gula Gempolkrep, Mojokerto, Jumat, 27 November 2015.
Menurut Ota kedua negara telah melakukan pertemuan tujuh kali yang digelar bergantian di Indonesia dan Thailand. “Kami berkepentingan agar petani lokal terlindungi. Di sisi lain, Thailand membidik Indonesia sebagai pasar yang potensial,” ujarnya.
Thailand salah satu produsen utama gula dunia dengan total produksi lebih dari 10,6 juta ton per tahun dari 50 pabrik gula. Kebutuhan lokalnya hanya sekitar 2 juta ton per tahun. Sisa produksi tersebut menjadikan Thailand sebagai salah satu eksportir gula terbesar dunia bersama Brazil. Selama ini, sekitar 30 persen ekspor gula Thailand dikirim ke Indonesia.
Total kapasitas giling pabrik gula di Thailand mencapai 940 ribu ton tebu per hari (TTH) dengan tingkat rendemen bisa sampai 12 persen. “Negeri Gajah Putih” itu juga sangat efisien dengan biaya produksi gula yang hanya berkisar Rp4.000 per kilogram.
Senior Expert Kantor Pertebuan dan Pergulaan Kementerian Perindustrian Thailand Porntip Siripanuwat mengatakan negaranya berharap Indonesia bisa menurunkan tarif pajak impor gula hingga nol persen sesuai skema pasar bebas AFTA. “Kami ke sini dalam rangka berkomunikasi dan melakukan bilateral consultative meeting agar tarif bisa dinolkan, meski mungkin bertahap,” ujarnya.
Gempolkrep dipilih sebagai tempat kunjungan lapangan karena satu-satunya pabrik gula di Indonesia yang sudah terintegrasi dengan pabrik bioetanol dari limbah tebu. Porntip menuturkan dari hasil kunjungan lapang ke Gempolkrep, dia menyimpulkan industri gula di Indonesia sebenarnya sudah cukup maju dan terintegrasi. “Di sektor on farm (budidaya) juga cukup bagus, apalagi bila sistem mekanisasi sudah penuh dilakukan oleh semua petani,” ujarnya.
Kepala Divisi Perencanaan dan Pengembangan PT Perkebunan Nusantara X Dicky Irasmanto menambahkan pihaknya berharap kunjungan delegasi Thailand bisa ikut meningkatkan daya saing. “Kami memanfaatkan momentum ini untuk belajar dan bertukar pengalaman dengan Thailand yang merupakan salah satu produsen gula terbaik di dunia,” ujar Dicky.
ISHOMUDDIN