TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan menyatakan banyak desakan dari berbagai pihak agar pemerintah memperpanjang kontrak PT Freeport. "Tapi kami (pemerintah) secara konsisten tetap dalam posisi yang jelas, tidak bisa dilakukan (perpanjangan kontrak)," katanya dalam konferensi pers di kantor Kementerian Politik, Jakarta, Kamis, 19 November 2015, menanggapi beredarnya nama dia dalam transkrip rekaman percakapan antara Ketua DPR Setya Novanto dan petinggi PT Freeport.
Luhut mengusulkan agar PT Freeport dibuat seperti pada Total di Blok Mahakam apabila kontraknya tidak diperpanjang. "Saat kontrak Total habis pada 2017, (Blok Mahakam) dikembalikan kepada negara dan dimiliki Pertamina," katanya.
Menurut dia, apabila kontrak PT Freeport habis pada 2020, pemerintah langsung mengambil alih. "Nanti pemerintah bisa menunjuk PT Aneka Tambang sebagai pemegang utamanya," ujarnya.
Luhut juga menegaskan bahwa tidak ada negoisasi apa pun, termasuk membicarakan masalah saham. "Saya tidak setuju apabila ada negosiasi ataupun memberikan saham kepada siapa pun," tuturnya.
Luhut menyatakan tidak mengetahui dan tidak pernah terlibat dalam urusan pembicaraan dengan PT Freeport. "Saya menyatakan tidak pernah terlibat dalam urusan-urusan semacam itu. Saat ini saya fokus dalam penanganan masalah ekonomi," ucapnya.
Baca Juga:
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Senin pagi pekan ini, melapor kepada Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat terkait dengan dugaan pencatutan nama presiden dan wakil presiden oleh politikus dan anggota DPR dalam perpanjangan kontrak PT Freeport.
Sudirman telah mengatakan di media massa bahwa beberapa bulan lalu Freeport dihubungi sejumlah tokoh politik yang sangat berpengaruh yang menjual nama presiden dan wakil presiden seolah-olah kedua pemimpin eksekutif ini meminta saham kosong.
ANTARA