TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Perpajakan dari Universitas Indonesia Darussalam mengatakan, data merupakan kata kunci utama berhasil atau tidaknya program pengampunan pajak. Otoritas perpajakan perlu memegang data untuk memetakan perilaku wajib pajak setelah penerapan kebijakan ini. "Apa menjadi patuh atau tidak?" katanya pada Rabu malam, 18 November 2015.
Sebab, menurut Darussalam, keberhasilan pengampunan pajak diukur bukan dengan seberapa besar mampu memberikan sumbangan penerimaan pajak. Namun bagaimana wajib pajak menjadi patuh setelah kebijakan tersebut bergulir. "Jadi mengangkat penerimaan itu bukan tujuan utama," tuturnya.
Darussalam berujar, data menjadi penting sebab Indonesia telah berkomitmen pada kesepakatan pertukaran informasi perbankan (AEoI) bersama 97 negara lainnya di 2017 mendatang. Kesepakatan ini mempersempit ruang wajib pajak dalam menyembunyikan uangnya di luar negeri. Karena itu, Ditjen Pajak bisa lebih leluasa memantau dan mengawasi para wajib pajak.
Direktorat Jenderal Pajak juga perlu mengkampanyekan secara besar-besaran bahwa tidak akan ada lagi kebijakan pengampunan di tahun-tahun mendatang. "Sehingga dapat menjaga kepatuhan wajib pajak dan mencegah wajib pajak menunggu berlakunya kembali pengampunan pajak dalam membayar pajak," katanya.
Menurut Darussalam, bila hal tersebut terjadi, dengan data yang dimiliki, Direktorat Jenderal Pajak memiliki kekuatan untuk memaksa wajib pajak turut serta memanfaatkan kebijakan pengampunan pajak. Bila masih ada upaya mengemplang pajak, Ditjen Pajak dapat bertindak tegas. "Diancam, 'Tunggu nih, Ditjen Pajak sudah ada data'. Dicek dan bisa dihukum karena sudah ada kesempatan emas untuk ikut tax amnesty."
AHMAD FAIZ IBNU SANI