TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluhkan ekspor Indonesia yang dilakukan secara besar-besaran, tapi devisa yang diterima kecil. Kalla membandingkan perolehan ekspor Thailand dan Malaysia, yang devisanya sangat besar.
"Apa yang salah, ternyata kita terlalu liberal mengatur devisa. Batu bara berkapal-kapal diekspor, sawit berton-ton diekspor. Devisa masuk, tapi uang yang masuk sekadarnya. Semua disimpan di Singapura," ucap Jusuf Kalla saat menjadi pembicara utama Tempo Economic Briefing di Hotel Ritz Calton, Mega Kuningan, Jakarta, Selasa, 17 November 2015.
Acara tahunan yang digelar PT Tempo Inti Media Tbk ini dihadiri sekitar 100 eksekutif BUMN dan swasta. Tempo Economic Briefing mengambil tema “Mengembalikan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2015 dan Melihat Peluang Bisnis pada 2016”.
Pejabat negara yang hadir, antara lain, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, dan Kepala Pembangunan Infrastruktur Wilayah Hermanto Dardak, yang datang mewakili pihak Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Kalla mengeluhkan komoditas ekspor Indonesia banyak mengandalkan produksi sumber daya mentah selama puluhan tahun. Hal tersebut, kata Kalla, menjadi kelemahan fundamental masa lalu yang perlu diperbaiki. Salah satunya dengan regulasi yang mulai melarang ekspor mineral mentah.
"Kesalahan fatal sehingga kita mengemis agar uang masuk. Tolong masukin, kemudian dikasih keringanan pajak karena kita mengartikan ekspor dengan pengapalan, bukan masuknya duit. Itulah kesalahan utama," kata Jusuf Kalla.
Kesalahan utama itu, Kalla mencontohkan, banyak ekspor kayu yang menimbulkan kerusakan hutan dan berdampak pada banjir. Ekspor batu bara yang menyebabkan lubang-lubang di tanah dan ekspor sawit berdampak pada bencana asap. "Ini fatal, ke depan enggak boleh terulang."
Karena itu, Kalla ingin pemerintah tak hanya memperhatikan kepentingan pasar sehingga rakyat hanya mendapat 'sisanya'. "Waktunya untuk memperbaiki sistem supaya maju dengan baik, tidak mewariskan kesulitan hanya karena seperti itu. Kita tidak boleh dibelenggu kepentingan pasar," kata Kalla.
ALI HIDAYAT