TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyatakan niatnya bergabung dengan Trans Pasific Partnership (TPP), yang dimotori Amerika Serikat. Niat bergabung dengan TPP disampaikan Presiden Jokowi saat lawatannya ke Amerika Serikat, Oktober lalu. Pengamat ekonomi Faisal Basri menilai keinginan tersebut belum matang.
Menurut Faisal, seharusnya pemerintah melakukan kajian lebih dulu melalui kementerian, barulah kemudian menyampaikan keinginan untuk bergabung dengan TPP. Bukan malah terbalik seperti yang dilakukan Presiden Jokowi.
“Ini malah Pak Presiden bilang tertarik dulu, setelah itu kementerian bilang masih mau mengkaji, ini kan terbolak-balik. Seharusnya lakukan kajian dulu, baru menyatakan tertarik," katanya dalam diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 14 November 2015.
Lebih lanjut Faisal menjelaskan, negara lain memutuskan bergabung dengan TPP karena mereka ingin memanfaatkan peluang dan kesempatan serta dukungan yang ada di dalamya. Mengingat dengan bergabung, mereka akan memiliki pangsa pasar yang lebih luas di Amerika. Selain itu, ingin memanfaatkannya sebagai alat untuk mencari dukungan dalam masalah sengketa negaranya.
“Contohnya Vietnam, dia bergabung ke TPP jelas kepentingannya untuk menggalang dukungan sengketa Laut Cina Selatan, sehingga TPP menjadi jalan tol bagi Vietnam,” ucapnya.
Sementara itu, Faisal melihat keputusan pemerintah hanya karena terprovokasi oleh iklim persaingan perdagangan.
Di lain pihak, Kementerian Perdagangan, beberapa waktu lalu, mengungkapkan bahwa pihakmya telah melakukan kajian terkait dengan untung dan rugi bergabungnya Indonesia dengan TPP. Hasil kajian tersebut menunjukkan Indonesia akan berpotensi meningkatkan ekspornya.
INGE KLARA SAFITRI