TEMPO.CO, Jakarta - Keinginan Presiden Jokowi bergabung dengan blok perdagangan Trans-Pacific Partnership (TPP) mendapat tentangan asosiasi nelayan. Masuk ke dalam TPP dianggap tidak akan menguntungkan Indonesia. "TPP itu ibarat kerja sama semu," kata Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik pada Senin, 2 November 2015.
Menurut Riza, dengan masuk ke TPP, Indonesia dipaksa mengintegrasikan urusan domestiknya dengan pihak lain, terutama Amerika Serikat. Padahal Amerika sejak awal tidak mengakui kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan. Dalam konteks inilah keinginan masuk ke dalam TPP dianggap tidak banyak manfaatnya bagi Indonesia.
Riza menjelaskan motor utama TPP adalah Amerika Serikat. Negara Abang Sam ini adalah salah satu dari sedikit negara yang belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982). "Sedang UNCLOS 1982 adalah sebuah konvensi internasional yang mengadopsi konsepsi negara kepulauan, di antaranya mengakui kedaulatan negara kepulauan terhadap laut di antara pulau-pulau, termasuk kedaulatannya di udara."
Atas dasar inilah, Riza menyatakan keengganan Amerika meratifikasi UNCLOS 1982 sekaligus menjelaskan Amerika Serikat meragukan klaim kewilayahan Indonesia sebagai negara kepulauan.
Ketertarikan Jokowi bergabung dengan TPP diungkapkan saat bertemu Presiden Barack Obama dalam kunjungannya ke Amerika beberapa hari lalu. Namun banyak kalangan menyatakan Indonesia belum siap masuk ke dalam TPP.
"Indonesia belum siap bergabung ke dalam TPP," kata Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono, Kamis pekan lalu.
Sigit menganggap TPP sebagai liberalisasi tingkat tinggi (high level liberalization) dalam kerja sama perdagangan di antara 12 negara anggota TPP. Level liberalisasinya bahkan dianggap lebih tinggi dibanding WTO.
Contohnya, dalam perdagangan bebas di WTO, masih disediakan perbedaan perlakuan antara negara maju dan berkembang. Misalnya, negara berkembang harus membuka pasar 80 persen dengan pembebasan bea masuk, sementara negara maju membuka pasar 90 persen. Di TPP, level liberalisasinya akan lebih tinggi dibanding WTO.
Di sisi lain, banyak komitmen dalam WTO yang saat ini belum ditandatangani atau disetujui Indonesia. Misalnya soal procurement, hak kekayaan intelektual, perburuan, lingkungan hidup seperti kesejahteraan hewan, dan liberalisasi BUMN. "Nah, hal-hal itu semuanya ada dalam dokumen TPP. Di WTO saja Indonesia belum meratifikasi, bagaimana dengan TPP," kata Sigit.
AMIRULLAH