TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan buruh ramai-ramai menolak Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Sejumlah rencana bakal dilakukan buruh, di antaranya mengajukan judicial review, mimbar bebas, dan mogok nasional. "Pertengahan November kami akan mogok, aksi ini akan melumpuhkan Indonesia," kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat, Rabu, 28 Oktober 2015.
Meski dilakukan pada pertengahan November, aksi menentang PP Pengupahan telah dilakukan di sejumlah daerah hari ini, Rabu 28 Oktober 2015. Pada Kamis 29 Oktober 2015, kata Mirah, sejumlah serikat pekerja akan menggelar mimbar bebas di depan kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jalan Diponegoro, Jakarta. Mereka di antaranya Aspek Indonesia, KSPI, KSPSI, KSBSI, Gerakan Buruh, dan lainnya.
Mirah mengatakan, PP Pengupahan dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU tersebut, kenaikan upah memperhitungkan komponen hidup layak (KHL). Dalam PP Pengupahan, kenaikan upah hanya memperhitungkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. "PP Pengupahan melanggar aturan hidup layak sebagaimana diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan," kata Mirah.
PP Pengupahan juga tak mengikutsertakan buruh dalam perhitungannya. Dalam aturan sebelumnya, perhitungan kenaikan upah selalu melibatkan buruh dan pengusaha. Mereka melakukan survei untuk menghitung komponen KHL. Perhitungan itu lalu disampaikan ke Dewan Pengupahan untuk direkomendasikan ke gubernur. "Kami menolak karena tidak ada serikat pekerja yang dilibatkan dalam perhitungan upah," kata Mirah.
Karena itu, selain bakal menggelar demonstrasi dan mimbar bebas, kalangan buruh akan melakukan judicial review terhadap PP Pengupahan. Saat ini, materi juducial review sedang digodok serikat-serikat pekerja. "Materinya sudah cukup matang. Dalam waktu tak lama, kami akan segera ajukan ke Mahkamah Agung," kata Mirah.
Baca Juga:
AMIRULLAH