TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral saat ini belum berani menargetkan kapan aturan tata kelola gas selesai dirumuskan. Pembahasan nyaris buntu lantaran pemerintah dan pengusaha masih berbeda pandangan.
Direktur Pembinaan Program Migas Agus Cahyono Adi mengatakan perbedaan tersebut terkait dengan rencana pemerintah membentuk badan penyangga gas. Beberapa pihak menolak keberadaan badan penyangga gas karena lembaga ini dianggap mendukung sistem monopoli.
Padahal, ucap Agus, badan penyangga hanya bertugas mengumpulkan gas dari semua lapangan untuk kebutuhan domestik. Nantinya badan ini menetapkan harga sesuai dengan daya beli golongan penerima gas, antara lain industri petrokimia, pupuk, pembangkit listrik, dan rumah tangga.
Dia menampik soal lembaganya telah menunjuk PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk sebagai badan penyangga gas. "Bisa saja nantinya dibentuk badan baru," ujar Agus di kantornya, Kamis, 22 September 2015.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi I.G.N. Wiratmadja menuturkan wacana badan penyangga gas bertujuan agar harga gas di sektor hilir bisa tertata. Dia menginginkan badan usaha bidang niaga gas tidak mematok margin seenaknya, yang berpotensi melonjakkan harga gas di tingkat konsumen (end user).
Soal lain adalah pembenahan trader gas yang tidak memiliki fasilitas. Kementerian, melalui beleid ini, berencana mewajibkan pembangunan infrastruktur gas bagi trader. Jika tidak kuat secara finansial, mereka diminta membentuk joint venture.
"Kalau cuma paper company, tidak akan menjadi prioritas (pemberian kuota niaga penyaluran gas)," kata Wiratmadja.
Sebagaimana diketahui, trader gas sampai saat ini masih diperbolehkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 03 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. Padahal trader sering dituding sebagai biang keladi melonjaknya harga gas.
ROBBY IRFANY