TEMPO.CO, Jakarta-Upaya pemerintah menata kawasan perkotaan kini harus dilakukan dengan paradigma baru yang tidak lagi memandang urbanisasi sebagai sebuah masalah, tapi sebuah peluang dalam pembangunan.
Perspektif baru ini mutlak diperlukan guna menghasilkan kebijakan yang lebih responsif terhadap dampak yang ditimbulkan akibat masifnya urbanisasi. Wacana ini mengemuka dalam perhelatgan “Asia Pasific Regional Meeting Habitat III”, yang berlangsung mulai Rabu, 21 Oktober 2015 hingga Kamis, 22 Oktober 2015.
Pertemuan regional ini akan mendiskusikan masalah perkotaan di Asia Pasifik guna merumuskan agenda baru perkotaan yang akan dibahas pada Konferensi Habitat III di Quito, Ekuador, pada 2016.
Hadir dalam acara tersebut Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Taufik Widjoyono, dan Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Andreas Suhono. Selain itu, hadir juga delegasi internasional, seperti Sekretaris Jenderal Habitat III Joan Clos dan Executive Secretary of United Nations Economics and Social Commission for Asia Pasific Shamsad Akhtar.
Rizal Ramli mengatakan Jakarta bisa menjadi representasi pengelolaan kawasan urban di Tanah Air. Menurut dia, penataan kawasan megapolitan ini berjalan lamban dalam merespons tingginya tingkat urbanisasi. “Kita baru menggalakkan pembangunan transportasi massal dua tahun terakhir, yang menimbulkan ketidaknyamanan penduduk kota. Namun semua ketidaknyamanan tersebut merupakan bagian dari transformasi Jakarta menuju kota yang lebih baik,” ujarnya.
Pemerintah pun harus membangun ekonomi lokal di pedesaan dan kawasan penyangga. Pembangunan dilakukan dengan pendekatan yang berbeda, sesuai dengan kemampuan ekonomi dan budaya daerah masing-masing. Rizal mencontohkan, dana APBN harus lebih banyak dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur di daerah, yang memiliki pendapatan rendah, tapi memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang baik.
Sebaliknya, pemerintah harus mendorong lebih banyak keterlibatan swasta dalam pembangunan di kawasan yang telah memiliki pendapatan daerah tinggi.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Taufik Widjoyono yakin pembangunan daerah pinggiran akan mampu mengurangi beban kota, mengingat sekitar 54 persen penduduk dunia kini tinggal di perkotaan, seperti tercantum dalam laporan World Urbaniztion Prospects yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Laporan tersebut juga memperkirakan jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan akan meningkat menjadi 66 persen pada 2050. “Ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk menangani urbanisasi, yakni menegakkan regulasi tentang rencana tata ruang, memiliki rencana pembiayaan supaya kota bisa membiayai dirinya sendiri, dan proses perencanaan urbanisasi yang lebih baik,” ujarnya.
Adapun Sekretaris Jenderal Habitat III Joan Clos menilai negara seperti Jepang, Korea, dan Cina bisa menjadi contoh sukses pengelolaan urbanisasi di kawasan Asia. Meskipun urbanisasi dilakukan secara spontan, ujarnya, tetapi pengelolaan yang baik terhadap urbanisasi mampu mendorong perbaikan ekonomi secara nasional. “Urbanisasi adalah pilar untuk pembangunan. Asia menjadi bukti hubungan erat sebab-akibat antara urbanisasi dan pembangunan. Kita bisa melihatnya dari Jepang setelah Perang Dunia II, Korea, dan Cina yang memimpin proses pembangunan yang sejak awal telah terkait dengan urbanisasi,” ujarnya.
Menurut Clos, urbanisasi yang masif dapat mengubah konstruksi sosial masyarakat dan sekaligus mempersiapkan lahan untuk terjadinya pembangunan. Karena itu, pengelolaan urbanisasi harus dilakukan dengan mengedepankan pendekatan sosial budaya yang sesuai dengan masing-masing daerah.