TEMPO.CO , Jakarta - Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mencatat 572 perusahaan logistik dan jasa transportasi barang berhenti beroperasi. Order pengiriman barang terhenti akibat perlambatan ekonomi.
"Sekitar 15 persen dari anggota kami mati suri, belum termasuk 1.500 pengusaha yang tak terdaftar di ALFI," ujar Ketua Umum ALFI Yukki N. Hanafi di Jakarta, Senin, 28 September 2015. ALFI, kata dia, memiliki 3.812 perusahaan.
Menurut Yukki, ancaman pemecataan dari dampak terbesar matinya perusahaan logistik tersebut bukan lagi hal baru. Sebab, pemecatan adalah cara paling mudah untuk melakukan efisiensi di kala situasi bisnis sedang sulit.
Yukki memperkirakan sekitar 2 persen dari 175-225 ribu pekerja yang ada di sektor logistik terancam dirumahkan. Jumlah tersebut ada di kisaran 4.000 pegawai yang dipecat, selain langkah pengurangan jam operasional yang diambil untuk efisiensi.
Yukki mengatakan pelemahan ekonomi sangat terasa sejak Mei lalu. Kegiatan lalu lintas logistik meredup sekitar 32 persen dan sekitar 50 persen menerpa penurunan di sektor angkutan darat.
Dia berharap pelemahan ekonomi dan depresiasi nilai tukar rupiah segera usai. "Akhir tahun kewajiban kami membayar utang dolar akan jatuh tempo," katanya. "Kewajiban tersebut akan menjadi masalah baru buat kami."
Selain situasi perekonomian, Yukki berharap pemerintah dapat mencapai tujuannya untuk efisiensi ongkos dan durasi logistik dalam negeri. Sebab, saat ini, selain memakan waktu lima-enam hari, ongkos logistik memakan 24 persen dari PDB yang membuat harga barang menjadi mahal.
"Kalau bisa dikurangi negara asing yang berminat masuk ke Indonesia, otomatis iklim investasi akan semakin bergairah," katanya. Selain itu, Yukki mengatakan, perbaikan sektor logistik akan menjadi daya tarik bagi produsen besar, seperti Cina, ketika pasar terbuka ASEAN sudah berjalan per 2016.
ANDI RUSLI