TEMPO.CO, Banjarmasin - PT Sebuku Baja Perkasa, anak usaha PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), menunda target penyelesaian proyek smelter tanpa batas waktu. Langkah ini menyusul anjloknya harga komoditas pertambangan bijih besi internasional. Semula, PT SILO telah menganggarkan Rp 3 triliun untuk membangun smelter kapasitas produksi 1 juta ton billet per tahun.
Proyek smelter digarap sejak 2011 dan diproyeksikan rampung awal 2017. "Pasti direvisi, baik scedulling dan jumlah investasi. Kami belum tahu bottomnya (harga terendah komoditas) itu di mana, bottom dari situasi sekarang kita enggak tahu," kata An Sudarno, Kepala Divisi Proses Ores PT Sebuku Baja Perkasa di Banjarmasin, Selasa 15 September 2015.
PT SILO menunjuk PT Sebuku Baja Perkasa untuk mengurusi lini bisnis hilirisasi bijih besi. PT SILO sendiri menguras bijih besi di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Dari luas pulau 27.500 hektare, PT SILO menguasai konsesi tambang bijih besi seluas 8.086 hektare. "Kami revisi, bukan dibatalkan. Sekarang baru berjalan (proyek smelter) 40-an persen," ujar An.
Menurut An, hilirisasi tambang bisa menambah nilai jual mineral bijih besi. Ia menghitung, harga ekspor bijih besi murni ke Cina saat ini sebesar 50 dollar AS per ton. Bila diolah menjadi sponge iron, misalnya, harga ekspor melonjak di angka 400 dollar AS per ton. "Kalau diolah lagi jadi billet bisa 490 dollar AS per ton dan galvanies bisa 828 dollar AS per ton."
Selain smelter, PT SILO sejatinya membangun proyek pembangkit listrik yang penyelesaiannya pararel dengan smelter. Sejak proyek digarap pada 2011 hingga Juni 2015, proyek terealisasi 42 persen. Proyek yang rampung setengah jalan seperti retaining wall, rotary dryer, 2 unit hot gas furnace, dan coal drying.
Adapun pemasangan hopper, kabel listrik, magnetic separator, dan pump house, rencananya digarap semester II 2015. An mengakui saat ini banyak persoalan yang mesti dihadapi oleh perseroan. "Tantangan kami dari sisi pendanaan, harga baja dunia, pasokan energi listrik, infrastruktur, dan insentif pajak," ujarnya.
Kepala Kantor Bank Indonesia di Kalimantan Selatan, Harymurthy Gunawan, mendorong Kalimantan Selatan lebih serius menggarap sektor manufaktur dan agroindustri. Masalanya, kata dia, minimnya pasokan listrik dan infrastruktur pendukung, menjadi faktor utama lambannya arus investasi masuk ke Kalimantan Selatan.
"Bisnis mineral tetap, tapi lebih baik menjual bukan dalam bentuk mentah, supaya dapat nilai tambah. Sekarang ini kalau harga komoditas tambang lesu, pasti ekonomi Kalsel langsung terdampak karena terlalu bergantung menjual mineral mentah," ujar dia.
DIANANTA P. SUMEDI