TEMPO.CO, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diminta meningatkan sosialisasi sehingga Maladministrasi yang membuat peserta ditolak dapat ditekan.
Odang Muchtar, Anggota Tim Persiapan RUU-SJSN dan Co-founder Institut Jaminan Sosial Indonesia, menuturkan dalam tiga bulan terakhir dirinya menerima keluhan dari beragam peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akhirnya harus membayar sendiri biaya berobatnya akibat rendahnya pemahaman dalam menggunakan kartu BPJS Kesehatan.
"Memang BPJS telah melayani 97 juta penderita, tetapi tetap perlu perbaikan," kata Odang, Senin (14 September 2015).
Odang mengatakan di Kudus dirinya menerima keluhan dari Khudori seorang supir hotel. Pasalnya Khudori harus kebingungan mencari biaya tambahan bapaknya berobat operasi ginjal.
Odang mengatakan walau memegang kartu BPJS untuk fasilitas kamar kelas satu, rumah sakit menempatkan ayah Khudori di kamar VIP. Akibatnya keluarga pasien harus menanggung selisih biaya kenaikan kelas.
Sementara, di Tanjung Pinang dirinya menerima keluhan pasien yang ditolak oleh rumah sakit menggunakan Kartu Indonesia Sehat (KIS) karena sedang berada di Yogyakarta. Akibatnya, pasien memutuskan membayar sendiri biaya berobatnya dengan harapan dapat melakukan klaim ke BPJS Kesehatan.
"Tentu saja ditolak. BPJS Kesehatan tidak dibenarkan membayar klaim," kata Odang.
Namun Odang menyayangkan si pasien maupun rumah sakit kurang paham akan hak dan kewajibannya. Padahal pasien dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan karena kondisi darurat dan masuk UGD.
Untuk itu Odang mendesak Desk BPJS Kesehatan yang ada di rumah sakit dibuat lebih mencolok. Selain itu, pemahaman admin rumah sakit, perawat menghubungi BPJS Corner sebelum mengambil keputusan pasien ditolak jika belum paham akan aturan.
"Juga kebutuhan berobat saat dikota lain KIS tetap bisa digunakan, dengan cara menghubungi lewat telepon, e-mail atau telepon genggam. BPJS Kesehatan kemudian memandu ke klinik, dokter praktek, atau Puskesmas terdekat," katanya.