TEMPO.CO , Jakarta: Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, mengatakan perbankan Indonesia masih dalam kondisi aman di tengah pertumbuhan ekonomi yang melambat.
“Sebetulnya bank-bank kita sedang dalam kondisi tidak ada masalah,” kata Sigit saat ditemui di sela perhelatan Indonesia Banking Expo 2015, Rabu, 9 September 2015.
Menurut Sigit, ia tidak terlalu mengkhawatirkan kondisi perbankan karena dari hasil stress test yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia menyatakan bahwa industri perbankan masih memiliki daya tahan yang cukup untuk menghadapi ancaman krisis.
Sesuai dengan Crisis Management Protocol (CMP), angka Bank Stability Index(BSI) juga masih normal. Justru, menurut Sigit, yang perlu dikendalikan adalah daya tahan nasabah sebagai pelaku di sektor riil.
Ia sendiri telah menyarankan kepada Presiden Joko Widodo agar sebaiknya memberikan perhatian dan insentif lebih banyak kepada sektor riil. Pelaku usaha di sektor riil, yang juga merupakan nasabah perbankan, saat ini sedang mengalami kesulitan karena pelemahan ekonomi. Kondisi ini ditandai dengan menurunnya pendapatan ataupun kurang lancarnya cash flow perusahaan.
“Kalo kami mau egois maka kami akan bilang ‘Pak, tolong kasih insentif terus ke perbankan’. Tapi kan nggak gitu, kami mengatakan saat ini sektor riil lebih penting,” katanya.
Pada kondisi ekonomi yang tengah terpuruk seperti saat ini, sektor riil adalah sektor yang akan terkena dampak pertama kali. Karena itu, menurut Sigit, upaya mendorong pertumbuhan sektor riil harus segera dilakukan, karena jika tidak segera ditanggulangi, maka pada akhirnya akan mengganggu kinerja perbankan.
“Kalo mereka goyang beneran, kemampuan pembayaran juga akan goyang, maka NPL meningkat, bank akhirnya kena juga,” tambah Sigit lagi.
Pemerintah, kata Sigit, hingga saat ini terus berusaha untuk menggerakkan kembali perekonomian agar kembali tumbuh. Pada sektor keuangan, khususnya perbankan, salah satu upaya yang dilakukan adalah membangun koordinasi antar otoritas agar stabilitas keuangan dapat tercapai. Ia pun menyebutkan salah contoh koordinasi tersebut adalah melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). FKSSK terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Menurut Sigit, koordinasi semacam ini lebih baik dibandingkan melakukan kebijakan sendiri-sendiri oleh setiap otoritas.
“Makanya saya katakan koordinasi itu mudah diucapkan tapi paling sulit untuk diwujudkan,” katanya.
Terkait kebijakan restrukturisasi kredit yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Sigit menganggap kebijakan tersebut sebagai sikap antisipasi yang positif. Kebutuhan akan pelonggaran kredit seperti perpanjangan jangka waktu ataupun penundaan cicilan pokok adalah kebijakan yang memang seharusnya dilakukan.
“Saya kira ini baik sekali ya, kebijakan yang sangat responsif dari OJK,” pungkasnya.
GHOIDA RAHMAH