TEMPO.CO, Jakarta - Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak merekomendasikan sapi yang berasal dari kawasan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Piyungan untuk hewan kurban pada Idul Adha.
"Kami tidak rekomendasikan sapi-sapi dari kawasan TPA Sampah Piyungan untuk dijadikan sebagai hewan kurban, karena yang menjadi masalah bila sapi itu mengkonsumsi sampah-sampah nonorganik," kata Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul Partogi Dame Pakpahan di Bantul, Rabu, 9 September 2015.
Menurut dia, sapi yang berasal dari kelompok ternak wilayah Kecamatan Piyungan cukup melimpah. Namun ia tidak bisa memastikan apakah semua sapi itu mengkonsumsi sampah-sampah yang dibuang di TPA Sampah Piyungan.
Partogi menjelaskan, jika sapi-sapi mengkonsumsi sampah nonorganik, misalnya plastik, dan sampah yang memiliki kandungan logam berat, tentunya daging yang dihasilkan tidak sehat dan tidak sesuai dengan syariat agama sebagai hewan kurban.
Hal itu, ucap dia, karena sampah-sampah nonorganik mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) apabila konsep pengolahannya tidak dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup.
"Permasalahannya sekarang ini, apakah sapi Piyungan itu dibesarkan dan digembalakan di kawasan TPA, karena itu sulit. Apalagi, secara kasat mata, sapi yang mengkonsumsi sampah dengan yang tidak tak ada bedanya," tuturnya.
Apalagi, kata Partogi, sapi-sapi yang berasal dari Piyungan selama ini secara fisik sehat, kulitnya mengkilap, sama seperti sapi pada umumnya. Jadi tidak mudah membedakannya, kecuali ada uji laboratorium terhadap daging itu.
Meski demikian, ucap dia, jika ada yang digembalakan di kawasan TPA Sampah Piyungan, bukan berarti sapi-sapi tersebut mengonsumsi sampah yang mengandung B3.
"Secara insting, sapi bisa membedakan mana plastik, mana makanan organik. Di sisi lain, berdasarkan pengamatan kami, sapi-sapi Piyungan jumlahnya tidak berkurang banyak. Sebab, kalau berkurang drastis, berarti sudah beredar," ujarnya.
ANTARA