TEMPO.CO, Jakarta -OPEC awalnya dibentuk sebagai respon perang harga minyak. Awalnya Juli 1960 Presiden Direktur dan CEO Standard Oil of New Jersey, sekarang Exxon, Jack Rathbone berencana memotong harga minyak mentah jenis Arabian light crude (ALC) sebesar tujuh persen menjadi US$ 1,86 per barel.
Ide tersebut didukung oleh kartel tujuh perusahaan minyak raksasa yang disebut "The Seven Sisters". Exxon termasuk di dalamnya bersama Mobil, Chevron, Texaco, Gulf, BP, dan Shell. Toh penurunan harga minyak mentah tidak akan sampai mengurangi pendapatan kartel tersebut. Justru keuntungan perusahaan meningkat karena mereka menguasai bisnis minyak dari hulu hingga hilir.
Satu bulan setelah pemotongan harga, negara pemilik sumber daya di Timur Tengah dan Venezuela meradang. Mereka berkumpul di Bagdad, Irak, pada 10 September 1960 untuk memperjuangkan kepentingannya. Pada akhir pertemuan, yakni 14 September 1960, lahirlah Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Negara-negara industri sebagai konsumen penikmat utama minyak beramai-ramai melalui OEEC (Organization of European Economic Cooperation) bereaksi keras. Akhirnya 10 Desember 1960, Amerika Serikat dan Kanada bergabung dengan OEEC dan nama organisasi negara-negara industri ini diubah menjadi OECD (Organization of Economic Cooperation and Development).
Indonesia sebagai salah satu negara produsen justru menyambut positif lahirnya OPEC. Pada 1962, Indonesia dan Qatar bergabung masuk OPEC. Langkah diikuti negara ini diikuti Libya, Aljazair, Nigeria, UAE, Ekuador, dan Gabon.
Pada 6 Mei 208 Sidang Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan hasil rapat terbatas kabinet membahas soal keanggotaan Indonesia di OPEC. "Apakah masih tetap (sebagai anggota) atau tidak," ujarnya. Alasanya menurut SBY karena Indonesia bukan lagi net exporter minyak. Minyak yang diimpor lebih banyak daripada yang diekspor. "Apalagi produksi minyak kita sekarang semakin turun," katanya.
Pada 28 Mei 2008 Indonesia akhirnya keluar dari keanggotaan OPEC. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan Indonesia sudah mempertimbangkan untuk keluar dari OPEC sejak tiga tahun lalu.
Menurut Purnomo, Indonesia akan bergabung kembali dengan OPEC jika produksi minyak Indonesia meningkat dan ekspor minyak lebih besar daripada impor. "Jika produksi naik dan bisa mengembalikan status Indonesia menjadi net oil exporter, kami akan bergabung kembali dengan OPEC," katanya.
Kemudian pada 7 Mei 2015 Indonesia ingin kembali aktif dalam OPEC. Keinginan ini, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said sudah mendapatkan izin dari Presiden Joko Widodo. Namun Indonesia tak akan langsung kembali menjadi anggota. "Kita akan masuk sebagai peninjau dulu," kata dia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said pada 15 Mei 2015 mengungkapkan Presiden Joko Widodo telah menyetujui rencana Indonesia untuk kembali bergabung dengan OPEC. Menurut Sudirman, rencana tersebut sudah dua kali ia sampaikan kepada Presiden. "Beliau sependapat dengan saya," kata dia.
Alasanya menurut Sudirman, Indonesia bakal diperhitungkan dalam OPEC. Sebagai salah satu importir minyak terbesar mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam pasar minyak global.
EVAN/PDAT Sumber Diolah Tempo