TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri mengaku kaget saat membaca berita di media online yang menyebutkan bahwa Rizal Ramli menuding adanya mafia pada bisnis pulsa listrik. Faisal menilai Rizal Ramli salah dalam menyampaikan angka-angka hitungan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli mengaku mengendus adanya permainan mafia dalam bisnis pulsa listrik prabayar atau isi ulang yang dijalankan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dugaan itu ia nyatakan karena nilai manfaat riil yang didapat masyarakat dari nominal pulsa yang dibeli hanya sekitar 70 persen. Ia mencontohkan, untuk pembelian pulsa listrik senilai Rp 100 ribu, maka isi pulsa yang dapat digunakan hanya sebesar Rp 73 ribu.
Baca juga:
Inilah yang Terjadi Di Balik Pertemuan Novanto-Trump
Drama Budi Waseso: Jokowi-JK Menguat, Kubu Mega Menyerah?
“Entah dari mana angka Rp 73 ribu itu,” katanya melalui akun blog-nya di Faisalbasri01.wordpress.com. Ia juga memberikan perincian pada akun blog-nya: “Tarif listrik 1.300 VA untuk golongan R1-1.300 VA Rp 1.352 per kWh. Jika pelanggan golongan R1-1.300 VA membeli token (prabayar) Rp 100.000, berapa kWh yang didapat?”
Pelanggan harus membayar ongkos administrasi bank, kalau menggunakan BCA besarnya Rp 3.000. Jadi sisa uang untuk membeli listrik Rp 97 ribu. Transaksi di bawah Rp 300 ribu tidak kena bea meterai.
Pelanggan juga harus membayar pajak penerangan jalan (PPJ) sebesar 2,4 persen (untuk Jakarta) dari jumlah kWh yang dibayar. Jadi PLN hanya menerima Rp 97.000/1,024 = Rp 94.726.
Jumlah kWh yang didapat pelanggan = Rp 94.726/Rp 1.352 = 70 kWh. Jadi uang pelanggan hanya susut 5,3 persen untuk biaya administrasi bank dan PPJ, bukan 27 persen seperti yang ditengarai oleh Pak Menko yang disebutnya disedot mafia.
Energy Watch Indonesia melalui Ferdinan Hutahea menyatakan PLN sebaiknya membuka data dan informasi kepada publik tentang tata cara penghitungan atau formula yang digunakan dalam menjual pulsa listrik/token.
Komponen apa saja yang dimasukkan dalam penentuan harga, sehingga lebih jelas dan transparan. Selain itu, berapa biaya administrasi, biaya meterai, berapa pajak penerangan jalan, dan berapa rupiah per kWh yang didapat rakyat, juga sebaiknya dipublikasikan agar masyarakat lebih mengerti. “Ini yang harus dibuka ke publik segera oleh PLN,” ujarnya.
INGE KLARA SAFITRI
Baca juga:
Habis Soal Novanto, Wanita Seksi Ini Hebohkan Kampanye Trump?
Cerita Ahok, Soal Pelesir DPR ke Luar Negeri Penuh Manipulasi