TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said membantah telah memberikan relaksasi ekspor mineral mentah. Alih-alih memberi relaksasi, dia ingin memberi stimulus kepada pengusaha yang membangun pabrik pengolahan dan permurnian.
"Itu sedang dikaji apa yang bisa diberikan kepada pengusaha yang bangun smelter, baik itu izin usaha yang dikaitkan dengan smelter maupun yang hanya membangun smelter sendiri," kata Sudirman di kompleks Istana Presiden, Rabu, 2 September 2015.
Baca: Siapa Mahasiswa UNS yang Lulus dengan IPK 4
Sebelumnya, dikabarkan pemerintah mempersyaratkan relaksasi ekspor untuk perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang membangun smelter dengan progress fisik mencapai 30 persen. Komoditas yang diekspor antara lain nikel dan bauksit. Ekspor juga wajib diawasi dengan instrumen letter of credit (L/C). Dengan cara ini, pemerintah juga hendak membantu perusahaan tambang yang sedang membangun smelter, tapi terganjal kondisi keuangan yang kembang kempis.
Pengusaha unit pemurnian dan pengolahan (smelter) mengancam akan menghentikan operasi jika pemerintah memberlakukan relaksasi atau pelonggaran larangan ekspor mineral. "Kebijakan relaksasi sangat aneh dan kontradiktif dengan komitmen pemerintah untuk hilirisasi," kata Jonatan Handojo, Business Development Growth Steel Group, kepada Tempo.
Simak: Heboh Tren Remaja Seksi, Cuma Berbaju Kantong Plastik Tipis!
Growth Steel adalah induk usaha PT Indoferro, operator smelter. Jonatan mengatakan smelter Indoferro mampu menghasilkan 125 ribu ton nickel pig iron (NPI) setiap tahun, dengan kapasitas terpasang 250 ribu ton. Jika ekspor berlaku, kata dia, otomatis pasokan pengolahan seret. "Begitu juga dengan 20 perusahaan smelter lainnya," ucapnya.
Jonatan mengaku kecewa saat mendengar salah seorang Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian memaparkan rencana pemerintah untuk merelaksasi ekspor mineral pada 27 Agustus lalu. Dia menilai pemerintah tidak konsisten dalam menerapkan aturan hilirisasi tambang. "Mereka beralasan relaksasi ekspor untuk menyelamatkan devisa negara," katanya.
Baca Juga: Dirut Pertamina Buka-Bukaan Soal Kerugian Rp 14,8 Triliun
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bambang Gatot Ariyono, mengaku masih mengkaji penerapan kebijakan ini. "Pemberlakuannya bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Opsi alternatifnya belum ada," kata dia.
ALI HIDAYAT