TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior yang juga mantan menteri di era Orde Baru Emil Salim membeberkan tiga hal penting terkait pembangunan ekonomi nasional yang kini sudah tidak dirasakan pada kebijakan pemerintah. Sementara, Orde Baru diklaim Emil sukses menerapkan kebijakan ini.
Hal pertama adalah peran Perum Bulog sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang bisa mengintervensi mekanisme pasar di sektor pangan. Dahulu, Bulog bisa mengintervensi pasar lantaran menguasai stok pangan nasional. Penguasaan ini membuat harga pangan selalu stabil hampir pada seluruh masa Orde Baru.
Intervensi Bulog, kata Emil, bukanlah perwujudan negara sebagai lembaga otoriter. Intervensi, di negara penganut sistem liberal sekalipun, tetap dibutuhkan untuk menjaga daya beli masyarakat.
"Mekanisme pasar tetap harus dijaga," kata Emil dalam Seminar Nasional bertajuk Perekonomian Indonesia dari Masa ke Masa: Tantangan, Strategi, dan Pembelajaran Bangsa di kantor Kementerian Keuangan, Senin, 31 Agustus 2015.
Emil berkaca pada lumpuhnya peran Bulog mengatasi kenaikan harga bahan pokok seperti beras dan cabai. Diketahui pada triwulan I dan II 2015 lalu, laju inflasi banyak didorong oleh naiknya harga komoditas ini.
Emil juga mengkritik pemerintah yang ak lagi menggelontorkan dana untuk Bulog. Perusahaan diminta mencari dana sendiri lewat pinjaman agar fungsi stabilisator bisa berjalan. "Kalau dananya seret, bagaimana Bulog bisa berpengaruh," dia berujar.
Keberhasilan Bulog menjaga stok pangan juga tak lepas dari kesuksesan pemerintah Orde Baru mengadakan swasembada komoditas, khususnya beras. Program ini sukses salah satunya ditopang oleh koperasi unit desa yang mumpuni.
Kemampuan KUD didukung oleh kredit pemerintah saat itu, sehingga pendanaannya lancar. Akhirnya, dari hulu ke hilir, koperasi menjadi pengawal swasembada pangan.
Kondisi saat ini justru terbalik. Saat krisis, pemerintah malah gencar mewacanakan tax holiday bagi pebisnis kelas atas. Padahal, Emil berucap, insentif ke koperasi dan usaha kecil menengah juga perlu diberikan. "UKM atau petani harusnya dapat," kata dia.
Hal ketiga adalah soal keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat pedesaan. Emil bercerita, saat tim ekonomi Soeharto merumuskan ataupun mengevaluasi kebijakan, dampak ke pedesaan selalu menjadi pertimbangan.
Faktor yang menjadi referensi tim ekonomi Soeharto adalah inflasi di tingkat desa. Faktor inilah yang seakan hilang dalam perumusan maupun evaluasi kebijakan ekonomi saat ini. "Justru kalau tidak dikembalikan ke desa, pembangunan menjadi anomali," kata Emil.
ROBBY IRFANY