TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Sulawesi Utara, Joubert Maramis mengatakan pemerintah harus mendorong ekspor ke Timur Tengah yang tidak mendapat dampak penguatan dolar Amerika Serikat.
"Melihat sebagian besar pelemahan mata uang asing di dunia terhadap dolar AS, maka pemerintah harus mencari jalan keluar tujuan baru ekspor Sulut," kata Joubert di Manado, Senin, 31 Agustus 2015.
Joubert mengatakan negara-negara di Timur Tengah sangat potensial untuk menjadi tujuan ekspor Sulut karena belum terkena imbas penguatan dolar AS. "Apalagi ada beberapa negara di Timur Tengah yang sudah menjadi tujuan ekspor Sulawesi Utara selama ini," ia menjelaskan.
Pelemahan rupiah saat ini, katanya, memang sedikit mempengaruhi kinerja ekspor secara nasional, apalagi ke Tiongkok yang menjadi tujuan ekspor terbesar Indonesia. "Pemerintah harus jeli melihat kondisi ini dan berusaha melakukan langkah antisipasi agar kinerja ekspor Sulut tidak terkena dampak pelemahan rupiah," katanya.
"Kurs rupiah yang mencapai Rp 14 ribu per dolar AS sudah bahaya bagi perekonomian Indonesia karena perekonomian internasional kita defisit pada transkasi barang dan modal," kata Joubert.
Kalau demikian, katanya, maka akan picu inflasi yang tinggi. Sebab, Indonesia mengimpor banyak bahan baku maupun barang jadi dari luar negeri, baik barang konsumsi maupun modal.
"Coba lihat kasus daging sapi, pengusaha importir akan berpikir rasional untuk menahan daging sapi atau menaikan harga daging sapi karena kurs tidak stabil," jelasnya.
Mereka takut jual karena beli kembali pasti lebih mahal karena kurs kita melemah. Kemudian efek dari harga tinggi daging sapi adalah naiknya daging subtitusi seperti ayam dan bahkan ikan. Komoditas ekspor Sulawesi Utara yang paling banyak saat ini yakni produk turunan kelapa, pala dan perikanan.
ANTARA