TEMPO.CO, Yogyakarta - Dinas Perindustrian Perdagangan Kota Yogyakarta mengatakan pertumbuhan usaha mikro kecil menengah (UMKM)akan meningkat seiring dengan melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika.
“Seperti saat krisis 1998 , sektor UMKM justru yang bertahan,” kata Kepala Bidang Sumber Daya UMKM Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta Tri Karyadi Riyanto kepada Tempo.
Tri mengatakan sejak krisis 1998 silam, jumlah UMKM di Yogyakarta terus tumbuh dengan berbagai konsentrasi produk berbahan lokal yang makin beragam. Dari pendataan yang mulai dilakukan pada 2012 lalu, saat ini UMKM telah berjumlah 22. 916 unit.
“Dampak pelemahan rupiah ini, kami prediksi jumlah UMKM tumbuh hingga menjadi 23.200 unit, atau tumbuh 2 sampai 3 persen,” ujarnya.
Tri menuturkan, bertahannya sektor UMKM karena sebagian besar bahan bakunya mengandalkan produk lokal. Sebanyak 75 persen UMKM bergerak di bidang kuliner, 20 persen kerajinan, dan sisanya fesyen. “Justru dengan pelemahan rupiah ini kami dorong UMKM untuk berorientasi ekspor, agar makin berkembang usahanya,” ujar Tri.
Tri mengatakan dari 22 ribu UMKM yang ada saat ini, 80 persennya masih usaha skala mikro. Mereka yang berorientasi ekspor masih bisa dihitung dengan jari. “Yang menjadi kendala, belum banyak UMKM menyadari aspek legalitas dan syarat pendukung agar usahanya bisa menjangkau skala ekspor, ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama,” ujarnya.
Dalam forum antar UMKM yang digelar pemerintah kota Yogyakarta belum lama ini, dari 30 perwakilan UMKM yang diundang, hanya sepertiganya saja yang mengaku sudah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
“Soal pengetahuan packaging (mengemas) produk, legalitas, dan pendukung kegiatan ekspor belum memadai meskipun kapasitas produksi mampu menjangkau,” ujarnya. Beberapa negara yang menjadi sasaran ekspor seperti UMKM bidang kerajinan di Yogya saat ini seputar Eropa dan Asia. Misalnya yang rutin dilakukan produksi kerajinan wayang kulit di Kelurahan Patangpuluhan.
Ketua Umum Komunitas UMKM Yogyakarta Prasetyo Atmosutidjo menuturkan, berkembangnya UMKM tak sesederhana ketika ada kondisi melemahnya rupiah seperti prediksi pemerintah.
Ia mencontohkan bisnis batik. Serbuan batik cap asal Cina sudah masuk ke pasar Beringharjo. Begitu pula dengan batu mulia, di mana untuk ring cincinnya sudah banyak dipasok asal Cina sehingga saat tren batu akik melambung, bukan perajin perak Kotagede yang untung. Melainkan makin besarnya impor asal Cina. “Dari Indonesia hanya sedia batu-nya saja,” ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO