TEMPO.CO, Jakarta - Menyikapi keterpurukan nilai tukar rupiah dan perlambatan ekonomi, Otoritas Jasa Keuangan meminta lembaga perbankan mewaspadai risiko membengkaknya kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).
Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK Irwan Lubis mengatakan pihaknya melakukan tes ketahanan bank (stress test) dengan metode one to one variable dan metode integrated, dengan memperhatikan risiko pasar, risiko kredit, dan risiko likuiditas.
"Dari risiko pasar atau terkait dengan pelemahan kurs, tidak ada bank yang kena hit. Kalau dari risiko kredit, bank akan kena hit saat NPL bergerak ekstrem hingga 25 persen," ucapnya.
Irwan menjelaskan, bank-bank tidak akan terkena dampak pelemahan rupiah karena saat ini transaksi valas di industri perbankan tidak terlalu besar.
Jadi, apabila dites menggunakan satu variabel, yakni nilai kurs, bank tidak akan terdampak.
Selain itu, dari 54 bank devisa yang aktif di transaksi valuta asing (valas), 51 bank berada di long position, yang berarti aset dan tagihan valas lebih besar daripada liabilitas valas.
Sedangkan tiga bank lain berada di posisi short dengan posisi devisa netto di bawah 20 persen akan terdampak. Namun dampaknya hanya pada penurunan laba dan tidak terpengaruh ke modal bank.
Namun, apabila bank dites menggunakan kombinasi second round effect, pelemahan rupiah akan berdampak pada pelaku usaha yang notabene merupakan debitur bank.
"Hal ini berdampak pada kemampuan debitur untuk memenuhi kewajiban bayar dan kolektibilitas kredit turun, dari lancar menjadi kredit bermasalah," tuturnya.
Sejak awal tahun hingga Juni 2015, NPL industri perbankan terpantau menunjukkan tren penaikan. Per Juni 2015, NPL gross perbankan tercatat 2,55 persen dan NPL net 1,25 persen.