TEMPO.CO, Jakarta - Analis saham dari Reliance Securities, Lanjar Nafi Taulat Ibrahimsyah, mengatakan belum adanya sentimen yang mampu mengurangi kekhawatiran atas perekonomian Cina menyebabkan indeks masih rentan melanjutkan koreksi.
Dikhawatirkan, indeks masih dalam tren pelemahan mendekati level 4.000. Hari ini, Lanjar memprediksi, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia berpeluang bergerak mixed pada level 4.070-4.200.
Meski demikian, Lanjar optimistis bahwa bakal dilaksanakannya buyback saham emiten pelat merah dalam waktu dekat berpeluang menjadi sentimen positif indeks.
Sebelumnya, koreksi tajam melanda semua bursa saham regional lantaran sebagian investor semakin khawatir oleh kondisi perekonomian Cina. Rilis perkiraan awal data manufaktur Cina (Caixin Flash Manufacturing PMI) pada Agustus yang terus melambat ke level 47,1 pada pekan lalu membuat investor pesimistis perekonomian Negeri Tirai Bambu membaik.
Merespons hal itu, dimulai pada indeks Dow Jones yang ditutup anjlok 3,12 persen, kejatuhan kemudian menular ke bursa regional. Indeks Shanghai, yang akhir pekan lalu sudah jatuh 4,27 persen, terperosok lebih dalam sebanyak 8,49 persen ke level 3.209,91. Koreksi demikian juga menimpa indeks Nikkei 225, yang ambruk 4,61 persen menjadi 18.540,68.
Tak jauh berbeda, IHSG ikut turun tajam sebesar 172,22 poin (3,97 persen) ke level 4.163,73. IHSG, yang sejak awal perdagangan sudah dibuka di teritori negatif, bahkan sempat menyentuh posisi terendah pada level 4.111,11.
Menurut Lanjar, investor memang tak mampu mengabaikan apa yang sedang terjadi dalam ekonomi Cina. Sebab, seusai kebijakan devaluasi yuan selama dua pekan lalu, terjadinya perlambatan manufaktur semakin menegaskan bahwa perekonomian Cina memang berada di hadapan krisis. “Tak mau ambil risiko dengan perlambatan ekonomi Cina, investor cari aman dengan mengambil posisi jual,” ujarnya kepada Tempo, Senin malam, 23 Agustus 2015.
Apalagi, di dalam negeri, depresiasi rupiah juga sudah menembus level 14 ribu per dolar. Sebagian investor yang kemudian ingin mengamankan portofolio investasinya akhirnya lebih memilih mengalihkannya ke aset-aset berdenominasi dolar. “Investor cenderung mengamankan asetnya dalam bentuk dolar AS,” ucapnya.
Untuk menekan risiko, Lanjar menyarankan agar sebagian investor yang lain terus bersikap wait and see.
PDAT | MEGEL JEKSON