TEMPO.CO , Jakarta: Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat Ahmad Riza Patria membenarkan temuan Kementerian Keuangan terkait pengendapan dana daerah Rp 273,5 triliun hingga Juli 2015.
Menurut Riza, penyerapan dana daerah rendah karena sejumlah faktor terutama soal birokrasi pencairan anggaran. "Padahal, uang yang digelontorkan dari APBN perlu digelontorkan ke masing-masing instansi agar ada peredaran uang," kata Riza saat dihubungi Tempo, Sabtu, 22 Agustus 2015.
Faktor pertama yang menyebabkan sedikitnya penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yaitu perubahan nomenklatur. Selain itu, pergantian pejabat, birokrasi di tingkat daerah, syarat administrasi menjadi hambatan utama.
"Seakan daerah berkepentingan untuk mengendapkan pencairan penyerapan pembangunan hanaya karena masalah regulasi, birokrasi, dan administrasi," kata Riza.
Riza menilai sejumlah pejabat di daerah ketakutan mengambil keputusan terkait tender pengadaan barang dan jasa. Mereka takut kesalahan prosedur pengadaan program akan menyeretnya ke kasus korupsi.
"Mereka mempelajari ulang regulasi karena takut penyalahgunaan kewenangan anggaran," kata politikus Partai Gerindra itu.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengumumkan rendahnya penyerapan dana daerah pada APBD 2015.Bambang mengatakan dana daerah yang mengendap pada Januari 2014 yaitu Rp 188,9 triliun, dan Rp 273 triliun pada Juni 2015. Nilai pengendapan ini terus meningkat tiap bulan.
Sementara penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) 2016 berdasarkan laporan penyerapan DAK 2015. Pagu DAK 2016 yaitu Rp 782,2 triliun dari jumlah Rp 664,6 triliun pada 2015.
Lima provinsi besar dengan dana daerah menganggur paling banyak yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Riau, Papua, dan Kalimantan Timur. Sementara Kabupaten dengan penyerapan rendah adalah Kutai Kertanegara, Malang, Bengkalis, Berau, dan Bogor. Pemda kota Surabaya, Medan, Cimahi, Tangerang, dan Semarang juga tercatat paling banyak membiarkan dananya mengendap di bank swasta dan BUMN.
PUTRI ADITYOWATI