TEMPO.CO, Jakarta - Produk-produk impor asal Cina diprediksi akan semakin membanjiri pasar domestik Indonesia setelah Negeri Tirai Bambu tersebut melakukan devaluasi mata uangnya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finances (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan pemerintah sudah diperingatkan jauh-jauh hari, ketika industri mengalami perlambatan hingga hanya mencapai 3,81.
Dengan kondisi tersebut, menurutnya, tentu akan sulit memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Sementara di saat yang sama, hal tersebut menjadi peluang bagi barang-barang impor murah meski berkualitas rendah, terutama dari Cina.
“Persoalannya sekarang, tanpa devaluasi saja kita sudah defisit. Kita sudah terbanjiri barang-barang dari Cina. Enggak bisa dibayangkan ketika yuan semakin mengalami devaluasi, pasti akan lebih murah lagi,” kata Enny.
Kemungkinan banjir barang impor asal Cina tersebut, menurutnya, harus dipersiapkan dengan baik oleh pemerintah, tidak hanya oleh Kementerian Perdagangan.
Koordinasi menurutnya, sangat mutlak untuk dilakukan, termasuk dengan lembaga seperti Badan Standardisasi Nasional sebagai filter kualitas produk impor yang masuk ke dalam pasar dalam negeri.
Tanpa filter tersebut, maka produk-produk impor tersebut akan benar-benar membanjiri pasar karena memiliki harga yang benar-benar murah jika dibanding produk dari dalam negeri.
Sementara itu, para produsen lokal pun masih tertekan oleh high cost economy karena mahalnya bahan baku impor akibat depresiasi rupiah terhadap dolar AS.
Menurutnya, kondisi itu membuat produk dalam negeri menjadi mahal, sementara barang-barang dari Cina terlihat seperti banting harga karena adanya devaluasi.
Enny menilai situasi saat ini benar-benar menjadi ancaman serius untuk neraca perdagangan Indonesia dengan Cina.
Sementara itu, meskipun rupiah mengalami depresiasi yang lebih dalam dibanding devaluasi Cina, hal tersebut sama sekali tidak terefleksi pada kinerja ekspor Indonesia.
Enny menilai hal itu disebabkan jenis produk ekspor yang sangat berbeda antara kedua negara.
Cina mengandalkan produk akhir dari hasil industri manufakturnya sebagai tulang punggung ekspor negara tersebut. Sehingga ketika yuan terdevaluasi, produk-produk ekspor Cina masih elastis.
Kondisi yang berbeda dialami Indonesia, dengan produk-produk ekspor yang inelastic karena didominasi komoditas-komoditas primer.
BISNIS.COM