TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) serius menyelidiki kasus dugaan kartel daging sapi. Komisi akan segera memanggil pihak-pihak yang diduga terlibat.
Tim KPPU hingga kini masih terus melengkapi data hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan. "Ketika nanti putusan telah dikeluarkan, KPPU akan tetap memberikan saran pada kebijakan pemerintah yang selama ini memberikan potensi kelangkaan daging sapi di pasaran, dalam hal ini adalah Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian," kata Ketua KPPU Syarkawi Rauf dalam siaran pers kepada Tempo, Rabu, 19 Agustus 2015.
Pemanggilan ini dilakukan setelah sebelumnya KPPU melakukan inspeksi ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Semanan, Jakarta Barat, dan inspeksi bersama Menteri Pertanian Amran Sulaiman ke feedloter milik PT Tanjung Unggul Mandiri (TUM) di Teluk Naga, Tangerang, Banten.
Menurut Syarkawi, pemerintah SBY telah mengurangi ketergantungan impor, yakni dengan mengurangi impor sapi bakalan 10 persen setiap tahun. Pada era pemerintah Joko Widodo saat ini, kebijakan yang diambil lebih ekstrem, yakni dari kuota impor 750 ribu ekor sapi dikurangi menjadi 350 ribu ekor.
Sayangnya, niat baik pemerintah ini ternyata tidak dibarengi dengan pemberdayaan pada sektor lokal, yakni para peternak sapi bisa lebih berproduksi dan sapi lokal menggantikan posisi daging sapi impor. "Artinya, ketika kuota impor dikurangi, maka terjadi distorsi pasar, pasokan berkurang drastis, dan pada akhirnya harga melejit naik. Jelas di sini kuota sapi lokal belum bisa mengimbangi kebutuhan masyarakat," ujar Syarkawi.
Pada sisi lain, jurus yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 dianggap belum mampu mengatasi keadaan-keadaan “khusus” seperti persoalan daging sapi ini. Dalam salah satu pasal perpres tersebut memang disebutkan adanya larangan menyimpan barang kebutuhan pokok dan barang penting di gudang ketika terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
AMIRULLAH