TEMPO.CO, Jakarta - Defisit Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 diperkirakan meningkat dibanding dalam APBN-P 2015. Koalisi APBN menyayangkan keputusan pemerintah yang justru menargetkan penambahan utang untuk menutupi defisit.
Menurut mereka, sebaiknya pemerintah memaksimalkan fungsi badan usaha milik negara. "Kalau mau merevolusi anggaran, selain dari pendapatan, ini bisa jadi alternatif," kata Koordinator Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Apung Widadi, di Jakarta pada Selasa, 18 Agustus 2015.
Apung mengatakan, bila dilihat dari hasil audit BPK sejak 2005 sampai 2015, negara memiliki piutang Rp 550 triliun dari BUMN. Angka sebesar itu sudah cukup untuk menutupi defisit. "Namun BUMN seolah tak dipandang sebagai sumber pendapatan yang memadai."
Dalam RAPBN 2016, target pendapatan laba BUMN hanya dipatok Rp 31 triliun atau lebih rendah Rp 5 triliun dibanding APBN-P 2015. "Setiap tahun entah kenapa target penerimaan dari BUMN selalu menurun," kata Apung.
Menurut Apung, sebaliknya, angka utang justru meningkat dalam RAPBN 2016. Pemerintah menargetkan utang sebesar Rp 183,4 triliun atau naik Rp 28 triliun dari APBN-P 2015. Kenaikan tersebut terdiri atas utang dalam negeri sebesar Rp 176 triliun dan utang luar negeri sebesar Rp 16 triliun. "Seharusnya, pada 2016, pemerintah menekan defisit dan mengurangi utang," katanya.
Selain itu, sumber-sumber penerimaan negara harus ditingkatkan. Seperti koreksi terhadap kebijakan perpajakan dan non-pajak serta meningkatkan pendapatan BUMN dan sumber daya alam.
Presiden Joko Widodo telah membacakan Nota RAPBN 2016 dalam sidang kenegaraan di DPR. Disampaikan bahwa anggaran belanja 2016 dialokasikan sebesar Rp 1.399,1 triliun. Rinciannya, belanja kementerian dan lembaga didapuk Rp 780,4 triliun, belanja non-kementerian dan lembaga Rp 558,7 triliun, serta alokasi transfer derah dan dana desa Rp 782,2 triliun.
URSULA FLORENE SONIA