TEMPO.CO, Jakarta - Pembukaan keran kepemilikan properti oleh asing tidak serta-merta membuat WNA berbondong-bondong membeli hunian ataupun menggairahkan bisnis properti.
Hal itu karena infrastruktur di Indonesia masih belum memadai dan berstandar pasar mancanegara, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.
Direktur Vida Bekasi Edward Kusma mengatakan kondisi ini berbeda dengan Negeri Jiran, seperti Malaysia dan Thailand yang memiliki kematangan infrastruktur di setiap lini, sehingga cukup menarik bagi pasar asing.
Keberadaan fasilitas yang memadai menjadi dasar agar penghuni di sebuah daerah dapat tinggal dengan nyaman.
Kemudian, potensi konsumen mancanegara hanyalah dari kalangan pekerja, sehingga secara jumlah pasar properti untuk WNA terbilang masih sedikit.
Adapun pasar ekspatriat yang potensial bersumber dari negara-negara di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan. Edward malah pesimistis dengan daya beli pekerja asing di Indonesia yang berasal dari Eropa.
“Siapa yang mau membeli di tempat macet, mau cari sekolah susah, kebutuhan susah, enggak ada yang beli. Banyak infrastruktur belum terpenuhi. Orang lupa kadang-kadang yang beli itu paling orang ekspatriat yang sudah ada di sini. Di sini yang beli juga dari Asia, seperti Korea dan Jepang,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 5 Agustus 2015.
Menurut Edward, kepemilikan properti asing tidak bisa menggantikan pasar properti yang lesu terkait pajak super mewah baru dengan patokan harga mulai dari Rp 5 miliar. Nominal harga serupa belakangan mencuat menjadi usulan terkait batasan harga orang asing boleh membeli properti di Indonesia.
Adapun beleid pajak penghasilan tertuang pada Pasal 22 Nomor 90/PMK.03/2015 menggantikan PMK Nomor 253/PMK.03/2008 memberlakukan pajak terhadap properti residensial senilai Rp 5 miliar ke atas yang sebelumnya Rp 10 miliar.
Dengan berlakunya beleid tersebut, pajak yang dibebankan kepada konsumen properti mewah sebesar 40%. Adapun rinciannya: Pajak Penghasilan (PPh) 5%, Pajak Penjualan (PPN) 10%, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) 20%, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) senilai 5%.
Dari segi suplai, pengembang juga terbebani komponen pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bea kontraktor dalam jumlah cukup besar. Pemerintah, menurut dia, kurang jeli memperhitungkan dampak kebijakan-kebijakan yang sudah diluncurkan.
“Developer cari margin keuntungan 30% sudah berusaha keras. Ini dapat pajak 40% dengan tidak melakukan apa-apa. Jalanan rusak lagi. Kalau jalan sudah mulus semua, kereta bagus, masih enggak apa, deh. Cuma kalau segini, yah,” ujarnya.
Edward menyimpulkan kepemilikan hunian oleh orang asing tidak bisa mengobati atau menggairahkan bisnis properti secara nasional.