TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral membuka penawaran 15 blok minyak dan gas bumi baru sejak bulan ini. Penawaran dimulai untuk delapan wilayah kerja konvensional pada bulan ini.
"Penawaran yang bulan ini sudah dibuka," ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM IGN Wiratmadja di kantor Direktorat Jenderal Minerba, Rabu, 5 Agustus 2015.
Dari delapan blok tersebut, lima blok ditawarkan melalui mekanisme lelang reguler. Proyek tersebut antara lain West Asri, Offshore Lampung; Oti, Offshore Kalimantan Timur; Rupat Labuhan, Offshore Riau dan Sumatera Utara; Kasuri II, Onshore Papua; dan North Adang, Offshore Sulawesi Barat.
Adapun proyek yang ditawarkan menggunakan skema langsung adalah North Jabung, Onshore Riau dan Jambi; South West Benggana, Onshore Kalimantan Timur; dan West Berau, Offshore Papua Barat.
Tujuh wilayah kerja non konvensional ditawarkan pada bulan depan. Menurut Wirat, semua wilayah ini menggunakan mekanisme lelang. Proyek tersebut antara lain: Batu Ampar, Blora Deep, Jambi I, dan Jambi II untuk proyek Coal Bed Methane (CBM). Sementara untuk proyek non konvensional gas serpih (shale gas), proyek yang ditawarkan: Raja, Sumatera Selatan, dan West Air Komering.
Guna memancing minat investor, Kementerian sedang menggodok aturan perjanjian migas alternatif selain kontrak production sharing contract (PSC) atau kontrak bagi hasil. Sebab, dengan sistem sekarang, ditambah anjloknya harga minyak dunia, proyek migas terancam sepi peminat.
Opsi yang disediakan adalah kontrak grosss split atau sliding scale. Melalui sistem ini, skema penggantian biaya operasi tidak lagi menjadi kewajiban pemerintah.
Kontrak sliding scale dianggap beberapa pihak cocok untuk wilayah kerja migas lepas pantai (offshore). Nantinya, perusahaan kontraktor kontrak kerja sama migas (KKKS) bakal mendapat jatah lebih banyak saat awal produksi. Secara perlahan, pemerintah bakal mendapatkan bagian lebih banyak saat proyek tersebut sudah mencapai puncak produksi.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Djoko Siswanto mengatakan melalui kontrak ini investor bakal tergenjot untuk lebih efisien dalam menjalankan operasional di suatu blok. Sebab, tidak ada pengembalian dana cost recovery dari pemerintah. "Skema ini sudah digunakan di negara seperti Australia," kata Djoko.
ROBBY IRFANY