TEMPO.CO, Beijing - Aksi jual di bursa utama Cina masih berlanjut meski pemerintah Negeri Tirai Bambu telah berupaya meredam gejolak pasar itu. Aksi jual yang terus berlanjut sejak Juni lalu semakin memicu kekhawatiran pelaku pasar terhadap nasib bursa Cina.
Indeks komposit Shanghai anjlok 8 persen pada sesi pembukaan pasar, Rabu, 8 Juli 2015. Sejak Juni, indeks Shanghai telah anjlok 30 persen.
Sekitar 500 emiten memutuskan menghentikan perdagangan untuk menghindari kerugian yang lebih besar lagi. Ini menambah panjang deretan perusahaan yang tak lagi aktif bertransaksi di lantai bursa.
Sebelumnya, lebih dari 1.300 emiten menghentikan perdagangan. Angka ini lebih dari separuh perusahaan publik yang tercatat di bursa utama Cina. Pemerintah Cina telah berupaya mengaktifkan kembali lantai bursa dengan membeli saham emiten berkapitalisasi besar.
Chris Weston, analis dari IG, menyebut aksi jual besar-besaran (panic selling) pada Rabu ini sebagai "Black Wednesday". "Ini untuk pertama kalinya China Insurance Regulatory Commission mengakui ada panic selling besar-besaran," kata Weston seperti dilansir dari BBC.
Menurut Weston, ada tiga faktor utama penyebab panic selling besar-besaran. Pertama, adanya intervensi pemerintah. Upaya pemerintah meredam panic selling justru semakin mendorong pelaku pasar melakukan aksi jual lebih besar lagi.
Penerbitan saham baru telah dihentikan. Pemerintah Cina juga menyediakan likuiditas yang cukup untuk menjaga pasar. "Tapi kenapa aksi jual besar-besaran masih terus berlangsung?" ujar Weston.
Faktor kedua, 80 persen pemain bursa adalah investor kecil. Mereka ini mudah rapuh. Sedikit saja guncangan mempengaruhi investasi. "Ketika pasar mulai dilanda aksi jual, mereka pun takut dan ingin keluar," kata Weston.
Faktor ketiga yakni aksi ambil untung (profit taking). Aksi ambil untung itu banyak dilakukan oleh investor jangka panjang. Setelah tahun bursa saham menggeliat, mereka melakukan profit taking untuk mengantisipasi kerugian.
BBC NEWS|SETIAWAN ADIWIJAYA