TEMPO.CO, Jakarta - Kondisi perekonomian Indonesia diyakini lebih sehat dan jauh berbeda dibanding Yunani yang tengah dilanda krisis. Salah satunya terlihat dari rasio utang pemerintah kedua negara terhadap produk domestik brutonya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono menyatakan utang luar negeri Yunani yang sangat besar sebesar 360 miliar euro, atau sekitar Rp 5.345 triliun, sangat jumbo. Bukan hanya itu, rasio utang terhadap produk domestik bruto Yunani yang lebih dari 100 persen itu sangat berbahaya.
“Sedangkan rasio utang pemerintah Indonesia sekitar 25 persen terhadap PDB,” tutur Tony ketika dihubungi kemarin. “Dalam konteks default atau gagal bayar utang, tak ada kekhawatiran.”
Yunani masih menunggu hasil referendum dalam merespons proposal Troika, yaitu tiga lembaga pemberi utang: Uni Eropa, Dana Moneter Internasional (IMF), dan bank sentral Eropa. Langkah referendum diambil setelah Yunani menolak usulan Troika memberi dana talangan 7,2 miliar euro atau setara dengan Rp 108 triliun untuk pembayaran utangnya sebesar 1,6 miliar euro atau sekitar Rp 23,7 triliun kepada IMF yang sudah jatuh tempo pada 30 Juni lalu.
Lebih jauh, Tony menilai perekonomian Indonesia lebih baik ketimbang Yunani. Ini tak hanya dilihat dari kondisi utang luar negerinya, tapi juga karena defisit anggaran pemerintah dijaga tetap rendah sekitar 2 persen. Tingkat pengangguran yang tinggi hingga 25,6 persen juga semakin memperberat perekonomian negara beribu kota Athena tersebut.
Hal senada disuarakan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang menyebutkan negara-negara di Eropa, termasuk Yunani, terlalu mudah menutup defisit anggaran melalui utang. Walhasil, tak rasio utang terhadap PDB melonjak dan upaya pengumpulan pajak tak signifikan. "Tidak ada penerimaan dan surat utang negara jatuh,” katanya, Kamis pekan lalu.
Bambang menjelaskan kondisi Yunani saat ini serupa dengan krisis di Indonesia pada 1998. Sementara sepanjang 1990-1997 kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7 persen atau terbaik dalam sejarah, berbalik pada 1998 ketika ekonomi tumbuh minus hingga 14 persen. Krisis ini terjadi karena Indonesia tidak menjaga stabilitas fiskal.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati, mengatakan, secara umum, kondisi Yunani tidak berdampak langsung terhadap ekonomi Indonesia. Pasalnya, selama ini, selain tak mengandalkan pasar ekspor Yunani, kondisi keuangan Indonesia relatif sehat pasca-krisis 1997 dan 2008. "Integrasi kita ke global juga belum terlalu besar," tuturnya.
Jika ada yang harus diwaspadai akibat berlanjutnya krisis Yunani ini, menurut Kepala Ekonom Standard Chartered Bank Eric Sugandi, itu adalah imbas tak langsungnya terhadap nilai tukar dolar Amerika Serikat dan pada kelanjutannya ke rupiah. "Lalu, juga ada faktor psikologis, bursa saham Indonesia akan terkoreksi karena dampak regional," katanya.
Kurs tengah Bank Indonesia mencatat nilai tukar rupiah di level 13.316 per dolar AS pada akhir pekan lalu. Nilai tukar ini jauh dari asumsi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 yang mematok angka 12.500 per dolar AS. Per Mei lalu, Badan Pusat Statistik mencatat pelemahan rupiah mencapai 2,06 persen.
ALI HIDAYAT | MITRA TARIGAN | SINGGIH SOARES | TRI ARTINING | URSULA FLORENE