TEMPO.CO, Jakarta - Chairman dan CEO Rajawali Corporation Peter Sondakh menegaskan, penjualan saham PT Eagle High Platantation kepada Felda Global Ventures (FGV) Malaysia merupakan win-win transaction. "Ini transaksi yang menguntungkan kedua pihak," ujarnya.
Bagi FGV, transaksi ini membuka akses terhadap pasar dan kebun yang luas di Indonesia. "Sedangkan Rajawali berhasil menggaet partner strategis yang memiliki pengalaman dan keahlian mumpuni di bidang perkebunan," ujar Peter.
FGV termasuk dalam lima besar pelaku industri kelapa sawit dunia yang memiliki sejumlah kilang dan unit usaha di banyak negara, seperti Kanada, Amerika Serikat, Turki, Spanyol, dan Prancis selain di Malaysia, Pakistan, Myanmar, Thailand, dan Indonesia. “Ini sinergi yang saling menguntungkan,” kata Darjoto Setyawan, Managing Director Rajawali Corp, saat ditemui Tempo, Senin, 15 Juni 2015, di Jakarta.
Ia berharap sinergi ini akan mengembangkan industri hilir kelapa sawit di Indonesia, sehingga mampu menjadi pusat produksi oleochemical di dunia, selain tentunya memperkuat hubungan perdagangan RI dengan Malaysia. Rajawali Corp meneken kesepakatan penjualan 37 persen saham PT Eagle High Plantation Tbk kepada FGV senilai US$ 632 juta berupa tunai dan stock deal atau tukar saham.
"Ini merupakan transaksi terbesar perkebunan sawit di Indonesia," ujar Darjoto. Penandatangan kesepakatan yang digelar di Jakarta, Jumat, 12 Juni 2015, itu juga disaksikan Menteri Koordinator Perekonomian Sofjan Djalil dan Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia Dato Sri Mustapa Mohamad.
Presiden dan CEO FGV Grup Dato Mohd. Emir Mavani Abdullah menegaskan, pembelian saham PT Eagle High Plantations merupakan yang paling murah yang pernah dilakukan pihaknya. Menurut perhitungan Dato Emir, FGV membeli Eagle High Plantations dengan harga enterprise value sebesar US$ 17.400 per hektare.
"Harga ini jauh lebih murah ketimbang transaksi yang dilakukan FGV selama ini," katanya. Pada awal bulan ini, misalnya, FGV meneken kesepakatan pembelian saham Golden Land Bhd seluas 8 ribu hektare dengan harga US$ 20.400 per hektare. Tahun lalu, FGV membeli Asian Plantation di Malaysia seharga US$ 20.400 per hektare.
Sejumlah perusahaan Malaysia bahkan harus membeli kebun sawit dengan harga yang lebih mahal. Kurang dari setahun lalu, misalnya, Sime Darby, konglomerasi kelapa sawit terbesar di Malaysia, membeli saham New Britain Oil Palm Ltd di Papua Nugini senilai US$ 25.900 per hektare. Selain itu, IOI Corp Bhd membeli saham Unico-Desa Plantation Bhd di Malaysia dengan harga US$ 23.500 per hektare.
Mahalnya harga kebun kelapa sawit, menurut Darjoto, menunjukkan jumlah lahan yang tersedia dalam skala yang luas semakin langka. Di Malaysia, sudah tak tersedia lagi lahan yang cukup luas untuk ekspansi kebun sawit.
"Di Indonesia sekalipun, lahan yang tersedia juga sudah sangat terbatas," kata Darjoto. Di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi, kini makin sulit ditemukan perusahaan sawit baru yang bisa membuka kebun lebih dari 10 ribu hektare. "Industri skala besar mestinya memiliki valuasi yang lebih tinggi dibanding skala menengah/kecil," ujar Darjoto.
Eagle High Plantation merupakan perkebunan sawit dengan luas 419 ribu hektare atau enam kali luas negara Singapura. Dari jumlah tersebut, sekitar 150 ribu hektare merupakan kebun yang telah ditanami dengan rata-rata umur tanaman 8 tahun, atau memasuki usia premium perkebunan sawit.
Kelapa sawit memiliki umur produktif 25-30 tahun dengan produktivitas tertinggi pada 8-18 tahun. Rata-rata umur tanaman Eagle High dinilai sesuai dengan kebutuhan FGV yang memiliki kebun dengan rata-rata umur tanaman lebih tua, yakni 15 tahun. "Sedangkan kalau hendak meremajakan kebun tua, FGV harus menyediakan dana investasi yang cukup mahal, selain waktu tunggu yang lama hingga kebun mencapai usia produktif," kata Darjoto.
WAHYU MURYADI