TEMPO.CO, Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada pembukaan perdagangan Selasa pagi, 9 Juni 2015, langsung anjlok 101 poin atau lebih dari 2 persen dan menyentuh level 4.913 dibanding penutupan kemarin. Tren penurunan itu berlanjut setelah kemarin IHSG ditutup anjlok 85,5 poin atau 1,68 persen menjadi 5.014,99 dibanding penutupan akhir pekan lalu.
Wakil Presiden Ekuitas Pasar Modal PT Mandiri Sekuritas Fath Aliansyah Budiman mengatakan tren penurunan itu terjadi akibat makin turunnya minat investor di pasar saham. “Dari sisi psikologis, sejauh ini kami melihat volume perdagangan yang turun di bawah rata-rata dari pekan lalu mengindikasikan berkurangnya minat terhadap pasar saham,” ujarnya dalam analisisnya, 9 Juni 2015.
Anjloknya level IHSG tersebut sudah menyentuh level di bawah angka psikologis 5.000. Sepanjang tahun ini IHSG sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah, yakni di level 5.523 pada 7 April 2015.
Menurut Fath, jika hari ini IHSG ditutup jauh di bawah garis rata-rata 200 hari (moving average 200). Garis pergerakan rata-rata 200 ini akan menjadi garis resisten jangka menengah dan panjang serta menjadi batasan serta resistensi jika terjadi pembalikan arah teknikal (technical rebound). Level 5.000 akan menjadi support psikologis untuk IHSG dalam beberapa hari ke depan. “Jika level 5.000 berhasil ditembus, support selanjutnya berada pada kisaran 4.880. Kami melihat peluangnya untuk berada di bawah level 5.000 sangat besar,” ucapnya.
Analis PT Asjaya Indosurya, William Surya Wijaya, menyatakan penurunan indeks kemarin terjadi karena investor jangka menengah sedang mengatur ulang portofolio mereka. Penurunan indeks juga disebabkan oleh lemahnya nilai tukar rupiah menjelang Ramadan. “Tapi potensi menguat juga masih besar,” katanya.
Menurut Kepala Riset Panin Sekuritas Purwoko Sartono, tren koreksi IHSG berpotensi berlanjut karena pertimbangan spekulasi percepatan penaikan suku bunga bank sentral AS (Fed Rate). Imbal hasil Fed Rate, yang lebih menarik, membuat sebagian investor asing mulai bersiap mengalihkan portofolio mereka dari aset-aset berisiko. "Karena Fed Rate, aksi jual asing berpotensi berlanjut," katanya.
Proyeksi itu mempertimbangkan data pertumbuhan tenaga kerja AS (non-farm payrolls) terbaru yang naik signifikan menjadi 280 ribu pekerja. Angka itu menunjukkan kinerja pemulihan ekonomi AS telah berjalan konsisten, sehingga membuat pasar yakin kenaikan Fed Rate hanya tinggal menunggu waktu.
ANDI RUSLI | MEGEL JEKSON | ABDUL MALIK