TEMPO.CO, Subang - Musim kering membuat para petani di Desa Cihambulu, Pabuaran, Subang, Jawa Barat, memutar otak agar bisa menyelamatkan tanaman padinya. Tak ada sumber air setempat lagi yang mereka bisa manfaatkan karena semuanya sudah kering kerontang. Maka, solusinya hanya satu membuat sumur pantek atau sumur bor. Tentu dengan segala risikonya.
Seorang petani di Desa Cihambulu, Ocim, mengatakan, untuk membuat sebuah sumur pantek diperlukan biaya Rp 1 juta. Lalu, buat menarik air dari dalam sumur pantek dengan kedalaman rata-rata 20 meteran itu, ia harus menggunakan mesin pompa air dengan ukuran sumbu air dua atau tiga inci seharga Rp 3 juta dan dengan tambahan biaya bahan bakarnya. "Selama 21 jam kami memerlukan 20 liter bensin," kata Ocim.
Untuk itu, Ocim membeli bensin di pengecer dengan harga Rp 8.500 per liter. Alhasil untuk stok 21 jam operasional pompa air dieselnya dibutuhkan biaya pembelian bensin Rp 170 ribu.
Lalu, debit air yang dihasilkan dari sumur panteknya yang digeber selama tujuh 21 jam sehari semalam itu, hanya bisa mengairi setengah hektare atau 5.000 meter persegi sawah miliknya. "Terus terang, antara air yang berhasil dipompa dengan modal mesin pompa air dan BBM-nya sangat tidak sebanding," ujar Ocim.
Maka, agar bisa lebih efesien ia pun kembali mencari solusi jitu mengurangi anggaran pembelian BBM. Ocim kemudian berkelana sampai keluar Kabupaten Subang mencari tahu ihwal pompa air yang bisa dimodifikasi irit bahan bakar tetapi tetapi tetap bisa menyedot air sumur pantek secara maksimal. Dan, berhasil. "Mesin pompa air sekarang pakai bahan bakar gas elpiji tiga kilogram," ujar Ocim.
Menurutnya, dalam waktu 21 jam penyedotan air sumur pantek hanya menghabiskan dana Rp 70 ribu. Alhasil, Ocim, kini, bisa mengirit bahan bakar Rp 100 ribu selama 21 jam menggeber mesin pompa airnya.
Ucup, pemilik bengkel sepeda motor dari Desa Cihambulu, mengatakan, modifikasi bahan bakar pompa air dari bensin ke gas elpiji, tidak terlalu sulit dilakukan. Caranya ada dua, yakni dengan menyalurkan aliran gas elpiji melalui karburator atau melalui filter.
Adapun media buat menyalurkan gas elpiji ke karburator dan filter sama-sama pakai selang. "Kalau menyalurkannya lewat karburator rata-rata menggunakan selang regulator, adapun yang melalui filter menggunakan selang infusan," ujar Ucup, sambil terkekeh.
Ia menjelaskan, gas elpiji yang disalurkan melalui karburator ataupun filter, sama-sama akan menghasilkan api karena tertarik arus kompresi. "Lalu, secara otomatis, akan menghidupkan mesin yang kemudian membetot air dari dalam sumur pantek," ucup menuturkan teorinya.
Kini, para petani di Desa Cihambulu dan sejumlah desa tetangganya seperti Desa Siluman, Tanjungrasa Kidul, Bale Bandung Jaya, dan Kadawung, banyak yang telah melakukan modifikasi penggunaan bahan bakar bensin ke gas elpiji mesin pompa airnya.
"Alhamdulillah, modal memompa air sumur pantek sekarang jadi lebih irit dan air tetap mengalir maksimal," ujar Endang, petani asal Desa Tanjungrasa.
Walhasil, meski sumber-sumber air setempat kini sudah kering-kerontang, dengan jerih payah, kini, Endang, Ocim, dan ratusan petani lainnya, bisa lebih gigih menyelamatkan tanaman padinya dari musibah gagal panen alias puso.
Namun, penggunaan sumur pantek berbahan LPG kadang membuat petani lupa waktu. "Sebab, tidak cuma siang, malam hari pun petani ramai-ramai begadang di tengah sawah," ujar Kepala Desa Cihambulu Hasan Abdul Munir, yang mengaku hampir saban malam ikut meronda di persawahan.
Ia menyebutkan ada 200 hektare areal tanaman padi gadu di desanya yang kini benar-benar bergantung pada air sumur pantek. Jika ikhtiar itu gagal, maka, gagal pula masa panennya. "Para petani semua gigih melawan ancaman puso," ujarnya.
NANANG SUTISNA