TEMPO.CO, Jakarta - Total pendapatan industri asuransi jiwa pada kuartal pertama 2015 mencapai Rp 44,8 triliun, naik 15,9 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang hanya Rp 38,6 triliun. Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Hendrisman Rahim, mengatakan pertumbuhan pendapatan tersebut didorong pendapatan premi sekitar Rp 32,95 triliun atau naik 28,5 persen dari Rp 25,65 triliun.
Dia mengatakan peningkatan total pendapatan premi ini juga didorong pertumbuhan total premi bisnis baru sebesar Rp 18,72 triliun atau meningkat 29 persen. Adapun total premi lanjutan mencapai Rp 14,23 triliun atau naik 27,8 persen. "Total premi bisnis baru menjadi faktor utama dalam kenaikan total pendapatan premi dengan kontribusi sebesar 56,8 persen terhadap keseluruhan total premi pada periode ini," kata Hendrisman di kantor AAJI di Jalan Talang Betutu Tanah Abang, Jakarta, Kamis 4 Juni 2015
Pertumbuhan pendapatan ini, kata dia, menjadi bukti kinerja asuransi jiwa lebih baik dari tahun sebelumnya. Salah satunya, program sosialisasi asuransi jiwa yang dilakukan secara konsisten oleh berbagai perusahaan. Walhasil kesadaran masyarakat tentang pentingnya melanjutkan kepemilikan proteksi iuran jangka panjang meningkat.
AAJI juga melaporkan hasil investasi industri asuransi jiwa selama kuartal pertama mencapai Rp 10,44 triliun atau turun sebesar 12,5 persen dari tahun sebelumnya Rp 11,93 triliun. Hal ini, kata Hendrisman, dipengaruhi oleh pasar modal yang kurang bergairah, terutama saham.
Dia juga mengatakan data pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,71 persen merupakan level terendah dalam lima tahun terakhir. "Kondisi ekonomi ini hanya bersifat musiman karena rendahnya belanja pemerintah pada kuartal pertama dibandingkan kuartal keempat tahun sebelumnya," katanya. Dia mengatakan portofolio terbesar terdiri dari reksadana, saham dan obligasi, deposito berjangka serta surat berharga negara.
Meski demikian dia menyebutkan adanya penurunan laba di industri asuransi jiwa. Hal itu disebabkan pelemahan rupiah, penghapusan subsidi BBM, kebijakan moneter yang ketat, dan lambatnya belanja pemerintah terkait pembangunan infrastruktur.
ALI HIDAYAT