TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan rencana pemeriksaan terhadap mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, sebagai saksi kasus dugaan korupsi dan pencucian uang penjualan minyak mentah atau kondensat bagian negara PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI) ditujukan untuk meminta keterangan. Menurut dia, bukan berarti Sri Mulyani langsung dinyatakan bersalah atas kasus dugaan korupsi penjualan kondensat itu.
"Menyangkut nama seseorang itu harus kami verifikasi. Karena itu diperlukan pemeriksaan," kata Badrodin, di Kantor Wakil Presiden, Kamis, 4 Juni 2015. "Belum tentu orang itu bersalah. Jangan anggap kalau ini diperiksa lalu bersalah. Itu proses yang wajar."
Adanya peran Sri Mulyani tercantum dalam hasil audit BPK atas laporan keuangan pemerintah pusat 2012. Berdasarkan audit tersebut, Menteri Keuangan ketika itu, Sri Mulyani, memberikan persetujuan pembayaran tak langsung kepada PT TPPI dalam penjualan kondensat bagian negara. Persetujuan diberikan melalui surat bernomor S-85/MK.02/2009. Surat itu terbit sebulan setelah Deputi Finansial Ekonomi BP Migas Djoko Harsono menunjuk langsung PT TPPI.
Persetujuan Menteri Keuangan, menurut hasil audit itu, tidak mempertimbangkan kondisi PT TPPI yang tengah mengalami kesulitan keuangan dan memiliki utang ke PT Pertamina. Akibatnya, dana hasil penjualan tak disetor ke kas negara. Sampai Desember saja, menurut audit tersebut, dana tak disetor Rp 1,35 triliun. Sejak enam bulan yang lalu, BPK menggelar audit investigasi penyimpangan ini dan mensinyalir kerugian negara mencapai Rp 2,4 triliun.
Sri Mulyani kini berkantor di Amerika Serikat karena menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia. Dia dijadwalkan diperiksa 10 Juni nanti. Badrodin mengatakan pemeriksaan terhadap Sri Mulyani bisa dilakukan dua cara. Pertama, Polri memeriksa ke Amerika atau Sri Mulyani dijemput ke Indonesia.
Baca Juga:
"Prosedur pemeriksaan kan bisa dilakukan dengan cara apa saja," ujarnya. "Tidak ada masalah."
REZA ADITYA