TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, selama ini, pemerintah tidak serius memperhatikan laju harga beras sebagai masalah ekonomi.
Lantaran ketidakseriusan ini, harga beras menjadi bancakan para mafia dan membuat persaingan pasar menjadi tidak sehat. "Mafia beras selama ini menikmati keuntungan abnormal hingga triliunan rupiah," ujar Enny dalam diskusi “Pangan Kita”, Senin, 1 Juni 2015.
Celah adanya mafia beras dimulai dari kepemilikan stok beras nasional yang hampir 95 persen dikuasai pengusaha swasta. Sedangkan Bulog sebagai stabilisator harga hanya menyerap rata-rata 5 persen total beras nasional.
Akhirnya, peran negara yang minim tidak mampu mengendalikan harga beras yang selangit. Contohnya, kegagalan Bulog mengendalikan lonjakan harga beras Februari lalu, meski operasi pasar menyentuh titik tertinggi, yakni 145 ribu ton.
Dalam asumsi Enny, permainan harga beras berada pada distribusi dari petani ke pedagang beras. Kongkalikong, ucap dia, terlihat dari disparitas harga gabah dari petani yang dibanderol Rp 3.200 per kilogram, dengan harga beras di pasar sekitar Rp 8.500 per kilogram.
Adanya dugaan praktek mafia beras terjadi karena pemerintah tidak mempunyai instrumen antisipasi harga beras. Sedangkan Bulog sebagai satu-satunya lembaga di pusaran pasar, tutur Direktur Pelayanan Publik Indef Lely Pelitasari, hanya berperan mengadakan beras petani yang berlebih di pasaran.
Permainan harga, menurut Enny, sebenarnya bisa dikurangi jika Bulog menguasai stok beras secara dominan. Namun, dengan kelembagaan saat ini, hal itu mustahil dilakukan karena anggaran perseroan terbatas.
Tahun ini saja, Bulog hanya dibekali duit penanaman modal negara sebesar Rp 3 triliun. Padahal, untuk menguasai stok beras, Bulog paling tidak harus memiliki 10 persen beras dengan kebutuhan biaya RP 36 triliun.
"Karena keterbatasan dana dan kelembagaan, intervensi pemerintah terhadap permainan mafia beras menjadi kecil sekali," kata Enny.
ROBBY IRFANY