TEMPO.CO, Surabaya - Hiruk pikuk kemeriahan Surabaya Great Expo 2015 di sebuah pusat perbelanjaan prestisius selama seminggu terakhir ini menjadi momentum bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk memamerkan produkya.
Dari ratusan gerai, terdapat dua stan yang khusus diperuntukan bagi pelaku UMKM warga terdampak penutupan lokalisasi Gang Dolly, Jarak, dan Bangunsari. “Kami ingin mengubah image, bahwa kami juga bisa sukses,” ujar Rohminaa, pemilik Pita Dolly Collection, kepada Tempo, Jumat, 29 Mei 2015.
Meski harus bersaing dengan UMKM mapan beromset ratusan juta, dia tak berkecil hati. Sayangnya stan yang diperuntukkan buat warga terdampak hanya kecil sehingga gebyarnya kalah mentereng dengan UMKM lain. Sebab, stan mereka tersisih di sudut dan hanya seluas dua kali empat meter persegi. Itu pun masih dibagi tiga sesama UMKM warga terdampak. Karena posisinya kurang strategis, jarang ada pengunjung melintas. “Baru dua yang laku,” tuturnya.
Namun Rohaminaa tetap senang karena mendapat kesempatan berpameran bersama pelaku UMKM yang telah sukses. Dari pameran ini dia mengaku banyak mendapat pengalaman, mulai dari belajar marketing, menekan harga jual, menggaet pasar, dan meningkatkan kualitas produk.
Rohminaa berujar baru belajar menyulam pita setelah mengikuti pelatihan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana Pemerintah Kota Surabaya setelah selama bertahun-tahun menggantungkan hidup dari geliat prostitusi di Gang Dolly dan Jalan Jarak.
Rohaminaa menyadari merintis usaha sendiri tidak semudah membalikan telapak tangan. Salah satu kesulitan yang ia rasakan untuk membesarkan usahanya ialah mencari pinjaman modal. “Memang harus telaten,” ucap dia. Rohaminaa menjual aneka kerajinan tangan mulai dari bross seharga Rp 5 ribu, tas sulam Rp 50 ribu, sulam kotak tissue Rp 25 ribu, taplak meja, dan tutup galon senilai Rp 200 ribu. “Omsetnya tidak bisa dipastikan.”
Selain kesulitan mencari pinjaman modal, Rohmina juga mengaku baru kali ini ikut pameran berskala internasional. Sebelumnya ia hanya mengikuti pameran antarkecamatan saja. Pameran berskala besar yang ia ikuti hanya yang diadakan oleh Pemkot Surabaya.
Di tempat yang sama, Uminingsih, 40 tahun, salah satu perintis batik tulis Jarak Arum mengaku mengalami kesulitan yang sama. Meski begitu, semangatnya untuk bisa berwirausaha tak pernah padam. Dalam berbagai kesempatan pameran pun ia tak pernah ketinggalan berpartisipasi. Kegigihan itu membuahkan hasil. Saat ini ia sudah bisa mengekspor berbagai produknya ke sejumlah negara. “Ada dari Indohome (perusahaan eksportir) yang memesan barang kami. Kadang 25 kain sampai 100 lembar kain. Per lembar harganya Rp 150-400 ribu,” ujarnya.
Meski dalam sebulan omsetnya hanya Rp 5 juta, namun Uminingsih merasa bangga karena usaha yang ia rintis bersama warga terdampak penutupan lokalisasi Jarak terbilang berhasil. Sebelum merintis usaha kain batik, Uminingsih berjualan kue, makanan, minuman, bahkan jadi tukang parkir bagi para lelaki hidung belang. Dengan usaha serabutan itu rata-rata penghasilan yang dia dapat antara Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu per hari.
Di sudut stan itu pula Katiyem, 61 tahun, dan Trimuji, 44 tahun, warga eks lokalisasi Bangunsari juga turut memamerkan produk kerajinan mereka. Perempuan yang mengaku baru lima bulan merintis usaha batik yang dinamai Sari Ratu ini tampak berbeda dengan stan-stan lainnya.
Jika stan lain sampai menyewa sales promotion girls untuk menawarkan produk mereka, Katiyem hanya diam di balik meja yang penuh dengan berbagai produk hasil karyanya. Dandanan Katiyem pun ala kadarnnya. Apalagi produk batik yang dia jual masih sangat sederhana. “Ya kan baru belajar,” katanya.
Bahkan hasil cantingannya pun masih banyak yang meluber sehingga terkesan asal-asalan. Padahal, ujar dia, di usianya yang sudah tak lagi muda, ia membutuhkan waktu yang lama untuk menyeleasikan karya batiknya itu. “Omsetnya tidak pasti. Kadang dalam sebulan cuma mendapat pesanan dua biji, lima biji,” katanya. “Kemarin ada yang pesan 100 lembar biji, tapi ditawar murah. Ya tidak saya ambil."
Katiyem mengaku mendapat pinjaman modal dari Dinas Perdagangan Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 20 juta yang dibagi dengan 10 warga terdampak. Namun pinjaman itu habis hanya untuk modal awal. Padahal pasarnya selama ini belum pasti ada. “Ya saya tawar-tawarin dari rumah ke rumah,” ujar dia.
AVIT HIDAYAT