TEMPO.CO, Jakarta - Semakin menipisnya sumber daya air di dunia, termasuk di Indonesia, memaksa sebagian penduduk mengkonsumsi air tak layak minum. Hal ini terjadi karena kondisi yang disebut scarcity, yakni berkurangnya ketersediaan sumber daya alam yang tidak seimbang dengan kebutuhan manusia yang terus bertambah.
Hal itu diungkapkan oleh pendiri sekaligus Presiden Direktur Indonesia Water Institute Firdaus Ali. Dia menambahkan, fenomena krisis air (water security) termasuk di antara tiga masalah krusial yang ikut menentukan peradaban bangsa pada masa depan, di samping ketahanan pangan (food security) dan ketersediaan energy (energy security).
"Sering masyarakat yang harusnya mendapatkan air bersih tidak bisa menikmatinya. Semewah apa pun rumah, kalau tidak ada akses air, misalnya, selama 24 jam saja, akan jadi neraka," ujarnya dalam peluncuran Livesaver Bottle, Rabu, 27 Mei 2015.
Menurut catatannya, Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah waduk terkecil di Asia, yakni hanya sekitar 284 waduk. Jumlah tersebut terlampau jauh jika dibandingkan dengan waduk milik India yang berjumlah 1.500, Jepang (3.000), dan Cina (20.000).
Untuk menyiasati krisis air tersebut, kata Firdaus, ada beberapa cara yang bisa dilakukan, di antaranya penataan institusi dan kelembagaan, pengendalian pemanfaatan air tanah, penetapan regulasi dan penegakan hukum, politik anggaran, dan intervensi teknologi mutakhir. Dari sekian banyak opsi, teknologi adalah cara yang paling praktis dan efisien.
"Kalau kita berhasil menemukan cara mengolah air tercemar menjadi air bersih yang layak minum, itu akan sangat membantu kelestarian lingkungan, dengan mengurangi sampah botol plastik. Kita harus belajar dari Singapura. Mereka memanfaatkan teknologi new water untuk mendaur ulang air karena sumber daya air bersih mereka sangat terbatas," katanya.