TEMPO.CO, London- Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Mirza Adiyaswara memberikan informasi perihal perkembangan perekonomian Indonesia terkini kepada alumnus Universitas Indonesia di Inggris. Menurut Mirza, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat saat ini lebih karena pengaruh beberapa faktor eksternal.
Cina, yang merupakan pasar utama dari produk ekspor Indonesia, pertumbuhannya melambat. Selain karena ekonomi Cina yang melambat, faktor lain melambatnya perekonomian adalah komoditas ekspor Indonesia mendapat pesaing baru, sehingga harga komoditas unggulan seperti baru bara, yang pada 2007 adalah US$ 150 per ton, sekarang hanya US$ 50 per ton.
Kemudian harga minyak sawit tahun ini turun hingga 50 persen dari 2007. Belum lagi harga minyak mentah yang dulu mencapai US$ 100 per barel sekarang tinggal US$ 50-60 per barel. “Jadi, terlepas siapa pun presidennya, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat karena ekspor turun drastis,” ujar Mirza pada Sabtu, 9 Mei 2015.
Acara ini didahului dengan makan malam di Restoran Nusa Dua, London, dilanjutkan dengan pemaparan dari Ketua Alumni UI Inggris Raya Rizal Djafaara, yang juga Kepala Perwakilan BI di Eropa, mengenai sejarah berdirinya Ikatan Alumni UI Inggris Raya.
Turut hadir, 30 alumnus UI yang merupakan diplomat, pegawai BI, eksekutif, dan para mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di berbagai universitas di Inggris. Di awal paparannya, Mirza menjelaskan bahwa struktur utang Indonesia saat ini berbeda dibandingkan dengan masa Orde Baru, saat negara maju dan lembaga donor, seperti IMF serta Bank Dunia, dominan dalam memberikan utang.
Saat ini yang paling besar membeli surat utang pemerintah adalah investor keuangan swasta, termasuk dari luar negeri. "Untuk itulah, kami dari BI, Kemenkeu, dan lembaga lain secara berkala berkunjung ke pusat-pusat keuangan di dunia (termasuk London) untuk memberikan info terbaru terkait dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini kepada para investor asing," ucap Mirza.
Selain itu, tantangan berikutnya adalah masalah kurs mata uang rupiah yang menurun 3-4 persen. Sebenarnya ini merupakan tren global, karena nilai mata uang euro juga melemah 13 persen pada tahun ini. Hal yang sama dialami Kanada, yang nilai mata uangnya menurun 6 -7 persen.
Menurun dia, menurunnya kurs mata uang tersebut merupakan akibat dari menguatnya mata uang dolar Amerika Serikat. Hal ini terkait dengan rencana bank sentral untuk menaikkan suku bunga yang sudah rendah, yakni sebesar 0,25 persen menjadi 2,5 persen atau sama dengan level sebelum krisis global tahun 2008.
“BI mencoba menjaga tingkat suku bunga yang optimal untuk mencegah arus modal keluar dari Indonesia,” tutur Mirza.
Kondisi ini membuat BI tidak bisa serta-merta menurunkan suku bunga terlalu rendah karena akan tidak lagi atraktif bagi investor. Selain itu, inflasi Indonesia yang masih di atas 6,5 persen membuat suku bunga juga dijaga pada kisaran 7 persen ke atas, agar bisa menahan inflasi tinggi.
“Kita berharap, dengan membaiknya kondisi ekonomi Eropa tahun ini serta peningkatan pertumbuhan ekonomi Cina pada 2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat lebih tinggi pada pertengahan 2016," ucap Mirza.
VISHNU JUWONO (LONDON)