TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menduga longsornya tanah di Kampung Cibitung, Desa Margamukti, Kecamatan Pangalengan, Bandung, Jawa Barat, terjadi karena adanya alih fungsi hutan menjadi perkebunan oleh masyarakat sekitar. Kondisi lahan di lokasi tersebut pun kritis.
“Sangat jarang pepohonan di sana. Penggundulan semakin kritis,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Rida Mulyana di gedung Kementerian Energi, Rabu, 6 Mei 2015.
Menurut Rida, penduduk seharusnya tidak beraktivitas di sekitar lokasi wilayah kerja Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu. Dia pun membandingkan dengan wilayah kerja PT Chevron Geothermal di Gunung Salak, Jawa Barat. “Penduduk tidak ada yang masuk ke sana,” ujar Rida.
Dengan beralih fungsinya hutan menjadi perkebunan, menurut Rida, pembangkit listrik jadi kekurangan pasokan air. Alhasil, pengembang lebih banyak melakukan pengeboran sehingga menambah biaya pengeluaran. “Pohon-pohon untuk menangkap air sebagai bahan uap,” tuturnya.
Rencananya, Kementerian Energi akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar penduduk tidak ada yang memasuki wilayah kerja pembangkit listrik. Energi panas bumi, menurut Rida, merupakan aset vital. “Harapannya, semua wilayah kerja disterilkan dari penduduk,” ucapnya.
Longsor menyebabkan dua pipa utama PLTP Wayang Windu rusak. Pipa unit pertama biasanya memproduksi 110 megawatt. Adapun pipa unit kedua menghasilkan 117 MW. Total, 227 MW pasokan listrik yang berhenti ke Perusahaan Listrik Negara.
Sejak PLTP Wayang Windu beroperasi pada 1989, kata Rida, baru kali ini terjadi longsor. Namun Rida tidak menyalahkan sepenuhnya kejadian tersebut kepada masyarakat. “Tapi bisa diketahui penyebabnya. Dulu tidak ada tanah longsor, sekarang ada penggundulan hutan,” ujarnya.
SINGGIH SOARES