TEMPO.CO , Jakarta: Puluhan wanita muda berkerumun di halaman kantor PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. T-shirt ketat membuat lekuk tubuh wanita kuning langsat terlihat lebih seksi.
Yanti, begitu nama panggilan wanita berkaus kuning itu, menangis di hadapan sejumlah awak kapal. Beberapa teman Yanti melakukan hal yang sama: menangis. "Mereka punya utang ke kami," ratap Yanti saat menuturkan kisahnya kepada Tempo.
Baca Juga:
Yanti cs adalah warga Desa Benjina. Untuk sampai ke lokasi kantor PT PBR, para wanita muda ini harus menumpang kapal cepat dengan ongkos Rp 10 ribu sekali jalan. Waktu tempuhnya hanya 15 menit.
Yanti dan teman-temannya berprofesi sebagai pedagang makanan dan minuman. Wanita berusia 21 tahun itu mengenal satu per satu awak kapal yang bekerja di PT PBR. Mereka menjadi pelanggan Yanti dan kerap berutang."Utang mereka sampai berjuta-juta rupiah," kata Yanti.
Sembari melinting bagian bawah kausnya, Yanti terus menangis sesunggukan. Matanya nanar memandang ke arah para awak kapal. Yanti berharap mereka yang berasal dari Thailand dan Myanmar, Los dan Kamboja itu membayar utanya sebelum dideportasi.
Memang agak mustahil. Dagangan Yanti cs berupa makanan dan minuman bisa menimbulkan utang sampai berjuta-juta rupiah. Orang kebanyakan di Benjina sudah mafhum, selain berdagang makanan mereka juga menjajakan cinta.
Dokter Kartika yang bertugas di Benjina menuturkan, awak kapal berwarga negara asing itu memang sering berlabuh. "Soal urusan ranjang, mungkin mereka juga suka berutang. Bayarnya setelah mereka pulang berlayar," kata dokter itu.
Awak kapal asing yang bekerja di PT PBR tidak sedikit, jumlahnya mencapai 1.138 orang.
Mereka terancam dipulangkan paksa setelah terbongkan adanya perbudakan yang melibatkan PT PBR. Awak kapal, terutama yang berasal dari Myanmar kerap disiksa dan diperlakukan tak manusiawi. Para awak kapal ini berharap segera kembali ke kampung halaman dan berpisah dengan Yanti Yanti di Benjina, yang sedang sayu.
DEVY ERNIS