Adapun inefisiensi kilang, kata Fahmi, terlihat dari tindakan Pertamina mengimpor minyak high octane mogas component (HOMC) dengan research octane number (RON) 92 yang kemudian dicampur dengan hasil olahan minyak mentah Indonesia berupa nafta RON 70 agar menjadi Premium RON 88. Pencampuran yang menimbulkan biaya baru ini tak perlu dilakukan jika kilang Pertamina efisien. (Baca: Berantas Mafia Migas, Ini Lembaga yang Dievaluasi)
Juru bicara Pertamina, Ali Mundakir, menyatakan siap memberikan data dan informasi kepada Tim Reformasi. Namun dia meminta Tim Reformasi tidak menyampaikan ke publik jika mendapati informasi yang janggal. Pertamina berharap Tim Reformasi meminta klarifikasi ke manajemen jika menganggap ada informasi yang kurang. "Jangan diwacanakan ke publik sampai lengkap, gitu lho," kata Ali saat ditemui di kantornya.
Ali membenarkan adanya pencampuran minyak RON 92 dengan RON 70. Ia menjelaskan, produksi kilang Pertamina saat ini baru menghasilkan RON 60-70 dan nafta. Alasannya, ketika dibangun, kilang Pertamina didesain untuk memproduksi Premium, kerosin, dan solar. Untuk mengoptimalkan penggunaan nafta, Pertamina mencampurnya dengan HOMC RON 92.
Dalam soal peningkatan kualitas kilang, Pertamina hari ini dijadwalkan meneken kesepakatan dengan Saudi Aramco (Arab Saudi), JX Nippon Oil and Energy Corporation (Jepang), Sinopec Limited (China), dan PTT Global Company Limited (Thailand). "Kilang kami rata-rata berusia di atas 30 tahun," kata Direktur Pemasaran dan Retail Pertamina, Ahmad Bambang.
KHAIRUL ANAM | ALI HIDAYAT | EFRI R.
Berita Terpopuler
Menteri Susi Tangkap 22 Kapal Ikan Cina |
Ruhut Ungkap Agenda di Balik Pertemuan Jokowi-SBY
Jokowi-SBY Bertemu, Peta Politik DPR Berubah Total