TEMPO.CO, Jakarta - Himpunan Wiraswastawan Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) lebih memilih pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak dari pada harus membatasi penggunaannya.
"Kenaikkan harga BBM bukan pertama kali terjadi, sebelumnya juga sudah pernah. Saat itu tidak ada gejolak, ramai-ramainya hanya di DPR. Namun, ketika penerapannya, berjalan aman," kata Juan Tarigan, Ketua DPD Hiswana Migas wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten saat dihubungi Tempo, Senin, 4 Agustus 2014. (Baca: Solar Bersubsidi Dibatasi, Harga Barang Bakal Naik)
Dia juga berpendapat bahwa saat ini disparitas harga antara BBM bersubsidi dan nonsubsidi sangat tinggi. BBM subsidi dihargai Rp 6.500 per liter, sementara BBM nonsubsidi sekitar Rp 11.000 per liter. Perbedaan tersebut membuat masyarakat cenderung mengkonsumsi BBM bersubsidi.
Tentu dari sisi pengusaha penghematan penggunaan BBM, khususnya solar, membuat keuntungan mereka semakin kecil. Namun, jika menaikkan harga bahan bakar, disparitas harga akan semakin mengecil. (Baca: Jalur Logistik Bebas dari Pembatasan Solar Subsidi )
Selain itu, pengurangan subsidi BBM bisa menghemat anggaran negara hingga 60 persen. Meski begitu, dia mengusulkan agar kenaikannya dilakukan secara bertahap agar masyarakat tidak terlalu terbebani.
Terkait dengan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, Juan menyatakan hingga saat ini belum ada keluhan dari pengusaha SPBU karena masih dalam suasana liburan. Para pengusaha, menurut dia, juga masih libur. Jadi, mereka belum mendata persis jumlah kerugiannya. Hiswana Migas juga sedang berdiskusi dengan pertamina soal teknis-teknis di lapangan. "Pasti ada kerugiannya. Namun, secara nominal, kami belum berhitung. Minggu depan mungkin baru bisa terlihat." (Baca: Selain Jakarta, Solar Juga Dilarang di Empat Pulau)
Ada 26 SPBU di Jakarta Pusat dengan rata-rata konsumsi per hari tiap SPBU mulai 80 ribu hingga 100 ribu liter. Sedangkan penggunaan Pertamax hanya 26 ribu per hari. Tentu, jika dibatasi, kerugian tersebut pasti ada.
Penerapan pembatasan BBM bersubsidi di Jakarta Pusat, menurut Juan, hanya akan membuat penggelembungan konsumsi di daerah lain atau bubble effect. Masyarakat cenderung mencari harga yang lebih murah tanpa mempedulikan kualitas. Akibatnya, mereka akan mencari SPBU mana yang harga BBM-nya lebih murah, meski harus mencari di luar Jakarta Pusat.
Pertamina per 1 Agustus 2014 mengeluarkan kebijakan jika SPBU di Jakarta Pusat tidak bisa menjual solar bersubsidi. Sedangkan pada 4 Agustus diberlakukan pembatasan pengisian bahan bakar. Pengisian hanya bisa dilakukan dari pukul 08.00 hingga 18.00 WIB di daerah perkebunan, pertambangan, dan pelabuhan yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali. Adapun pada 6 Agustus 2014 SPBU di sepanjang jalan tol tidak menjual Premium.
AYU WANDARI
Baca juga:
Komedian Mamiek Meninggal
NasDem Sepakat Jabatan Menteri Bukan Petinggi Partai
Jokowi Hadiri Syukuran Bareng Artis Salam Dua Jari
Gaya Asyik Polisi di Jembatan Comal