TEMPO.CO, Jakarta - Perjanjian eksplorasi dan eksploitasi tambang PT Freeport Indonesia yang semula berbentuk kontrak karya akan berganti menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) setelah berakhir pada 2021. Pernyataan itu disampaikan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, R. Sukhyar, di kantornya, Jumat, 26 Juli 2014.
"Hal itu diterapkan untuk mematuhi amanat UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 yang tidak lagi memperbolehkan konsesi tambang diatur dalam bentuk kontrak karya, melainkan harus dengan IUPK," katanya. (baca: Besok, Nasib Freeport Diputuskan di Sidang Kabinet)
Perbedaan paling mendasar antara kontrak karya dan IUPK, kata Sukhyar, berada pada proses perjanjian eksplorasi dan eksploitasi tambang. Pada kontrak karya, klausul perjanjian ditentukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proyek pertambangan. Sedangkan dalam IUPK, kata dia, pemerintah memiliki wewenang penuh untuk mengatur klausul dan memberikan izin kepada perusahaan pengelola tambang.
Ihwal renegosiasi kontrak Freeport yang sedang berlangsung saat ini, Sukhyar memastikan bahwa proses masih berlangsung dan belum ada penandatanganan perjanjian apa pun. "Peraturan Menteri Keuangan belum diteken, sehingga Kementerian ESDM dan Freeport tidak menghasilkan perjanjian apapun seperti kabar yang beredar terakhir," ujarnya.
Selain itu, Freeport juga diminta membayarkan royalti hasil tambang emas sebesar 3,75 persen dari semula 1 persen. Sedangkan royalti hasil tambang perak menjadi 3 persen dari semula 1 persen. Ihwal tembaga, pemerintah meminta royaltinya naik 1 persen menjadi 4 persen. "Dalam proses renegosiasi, Freeport juga mengajukan luas lahan eksploitasi menjadi 10 ribu hektare dan luas lahan penunjang 117 ribu hektare," tutur Sukhyar.