TEMPO.CO, Sydney - Tak semua pengungsi yang datang ke sebuah negara akan menjadi beban negara yang didatangi. Sebab, beberapa dari pengungsi itu ada yang sukses menjadi pengusaha. Contohnya adalah Riz Wakil, seorang pengusaha sukses di bidang desain dan percetakan di Australia.
"Saya datang dari Afganistan pada November 1999, saat saya masih berusia 18 tahun," kata Riz Wakil kepada Sydney Morning Herald, Sabtu, 21 Juni 2014.
Saat pergi dari Afganistan menuju Australia, Wakil menggunakan perahu nelayan ukuran 30 kaki (sekitar 9 meter). Dia tak sendirian, karena kapan ikan ini juga ditumpangi 77 pengungsi lainnya. Tujuannya sama: mencari suaka di Australia.
Setelah sampai di Australia, mereka kemudian masuk dalam pusat detensi Curtin. Meski sudah berada di pusat penahanan, keberadaan mereka tak lebih baik dibanding saat masih dalam perjalanan di kapal. Di pusat detensi ini, Wakil mengaku sempat kehabisan air dan makanan yang layak makan.
"Semua makanan yang layak makan kami berikan kepada keluarga Irak karena mereka mempunyai anak perempuan yang masih kecil. Jadi, kami hanya makan kue kering," ujarnya, seperti dikutip Sydney Morning Herald.
Setelah sembilan bulan berada di pusat detensi Curtin, Wakil, yang merupakan etnis Hazara, diterima menjadi pengungsi dan kemudian dikeluarkan dari pusat detensi. Dia kemudian diterima menjadi pegawai di sebuah perusahaan percetakan dan desain di Australia. (Baca juga: Kisah Sukses Jack Ma: Dari Bir hingga Alibaba).
Selang 13 tahun kemudian, Wakil ternyata mampu memiliki bisnis sendiri di Fairfield, Australia. Bidang usahanya masih tak jauh dari pekerjaan sebelumnya, yaitu desain dan percetakan. Perusahaan Wakil saat ini memiliki omset sekitar US$ 300 ribu atau sekitar Rp 3,45 miliar dan mempekerjakan lima orang.
Usaha Wakil untuk menjadi orang sukses di Australia sebenarnya bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi dia adalah seorang pendatang. Banyak orang Australia yang masih memandang manusia kapal--sebutan untuk para pencari suaka--tak hanya ilegal, tapi juga pemalas.
"Pandangan ini akan kamu lihat sepanjang waktu," tutur Sophie Peer dari kelompok advokasi pengungsi Chilout.
Buktinya, kata dia, dalam akun Facebook milik organisasi ini dipenuhi komentar kenapa organisasi ini membiarkan mereka masuk ke Australia. Menurut Sophie, tak bisa diragukan lagi jika masih ada warga Australia yang mempunyai rasisme yang sangat kuat.
Padahal dalam laporan Profesor Graeme Hugo pada 2011 disebutkan para para pengungsi itu sebenarnya memberikan kontribusi yang besar pada kegiatan ekonomi di Australia. "Di beberapa daerah, mereka mengisi kekurangan tenaga kerja," ujar Graeme.
AMIR TEJO
Berita utama
Ulang Tahun, Jokowi Kebanjiran Ucapan di Twitter
Lima Satuan Kerja yang Bermasalah di DKI
JK: Mafia Minyak Halangi Pembangunan Kilang